Sangkrah-Kampung (Berlatar) Sungai

Pertemuan untuk bapak-bapak di kampung Sangkrah sendiri ada beberapa kegiatan yaitu pertemuan rutin yang dilakukan setiap bulan dan dilakukan di rumah warga secara bergilir. Salah satu pertemuan bapak-bapak seperti foto di atas merupakan malam tirakatan pada malam 17 Agustusan. Saat malam tirakatan biasanya dilakukan pengajian bersama dan bapak-bapak begadang semalam suntuk.

“Ini foto yang saya ambil pada malam tirakatan mbak, mas. Biasannya malam tirakatan ini dilakukan pada malam 17 Agustusan. Bapak-bapak dan ibu-ibu pengajian bersama. Selanjutnya bapak-bapak melakukan begadang semalam suntuk. Kalo di sini istilahnya lek-lekan,” ungkap Pak Kamil.

Selain pertemuan bapak-bapak dan tirakatan, kegiatan lainnya adalah ronda malam dan jimpitan. Ronda malam dan jimpitan ini dilakukan setiap kepala keluarga dan dilakukan secara bergilir. Saat melakukan ronda malam warga yang melakukan ronda malam mengambil jimpitan berupa beras yang telah disediakan setiap pintu atau gerbang rumah warga, dan hasil dari jimpitan tersebut biasanya setiap bulan akan dikocok dan yang dapat akan mendapat hasil dari jimpitan setiap bulannya.

Kalau di sini itu setiap malamnya rutin diadakan ronda malam sama jimpitan. Pelaksanaan rondanya itu dengan cara bergilir jadi kayak buat jadwal ronda gitu. Nah pas kita melakukan ronda malam itu sekalian ngambil jimpitan di setiap rumah warga. Jimpitan ini berupa beras sejimpit yang disediakan warga di depan rumah dan dikumpulkan petugas ronda. Hasil dari jimpitan ini dikumpulkan setelah banyak cara pembagiannya dengan cara dikocok kaya arisan itu lo mbak, la dapat dari KK siapa terus hasil jimpitan itu diberikan kepada nama yang leuar dalam kocokan tadi,” ungkap Pak Siswanto.

Penjelasan dari ibu Sugiarso sebagai istri Bapak RT 2 menunjukkan bahwa kegiatan ibu-ibu Sangkrah lebih banyak dalam kegiatan PKK. Kegiatan PKK itu sendiri biasanya arisan rutin PKK tingkat RT, RW, dan Kelurahan. Pelatihan- pelatihan keterampilan dari PKK Kelurahan, lomba masak atau senam antaribu-ibu maupun antarRT. Selain kegiatan PKK tersebut dari uraian Ibu Sugiarso, ibu-ibu juga melakukan jenguk orang sakit. Ini dilakukan saat ada salah satu warga yang satu RT sedang sakit maka ibu Sugiarso akan menghubungi ibu-ibu satu RT untuk mengabari dan mengajak untuk menjenguk warga yang sakit tersebut. Hal itu dilakukan untuk tetap mempertahankan rasa kekeluargaan antarwarga kampung.

“Kalau di sini itu kegiatan ibu-ibu itu banyak mbak. Ada arisan PKK, pelatihan keterampilan seperti memasak, dan ketrampilan hasta karya. Sama  kalau ada warga yang lagi sakit itu saya langsung ngasih tahu ke warga lain untuk jenguk ke warga yang sakit itu,” ungkap Ibu Sugiarso.

Lewat diskusi dari sela-sela kegiatan, kami memperoleh gambaran yang cukup detil tentang sampah di kampung Sangkrah. Bagaimana sejarah menamai kampung ini dengan Sangkrah yang syarat dengan sampah kating bekrakah (beserakan). Kampung Sangkrah bisa dikatakan kampung kali, karena kampung ini dikelilingi empat sungai besar: sungai Jenes, sungai Pepe, sungai Tegal Konas, sungai Bengawan Surakarta. Sungai-sungai ini membawa sampah-sampah buangan dari dari penduduk sekitar sungai dan luar sungai hingga akhirnya lewat Sangkrahan. Masalah yang kerap muncul saluran menjadi tersumbat, terjadi pendangkalan sungai dan sampah cair industri dan rumah tangga mencemari kualitas air sehingga air tak lagi bening dan berbau. Dari yang kami peroleh, kami tertarik untuk mendalami kehidupan pinggiran kali warga kampung Sangkrah baik itu pergulatan dengan sampah maupun dengan pinggiran kali sendiri.

Kampung Sangkrah merupakan kampung yang termasuk padat penduduk, itu ditunjukan dengan kepadatan rumah penduduk yang jaraknya sangat berdekatan dan kebanyakan tidak mempunyai halaman yang cukup. Selain itu di Sangkrah sendiri ketersediaan lahan hijau sangat kurang dan minim sekali. Lahan hijau hanya terdapat di sepanjang bantaran sungai Jenes, sehingga kampung Sangkrah terkesan kampung yang minim penghijauan. Masalah lingkungan  kampung Sangkrah lainnya adalah sampah dan ketersediaan air bersih. Kedua masalah ini saling berhubungan satu sama lain.

Menurut cerita pak Goso ketua RT 01 kampung Sangkrah, “Masalah sampah sebenarnya timbul bukan saja dari warga Sangkrah sendiri tetapi dari warga daerah lain Sangkrah. Maksudnya sampah itu akibat dari kiriman warga daerah lain yang membuang sampah di sungai, terutama dari tiga aliran sungai yang melewati kampung Sangkrah yaitu sungai Pepe, sungai Jenes, dan sungai Tegalkonas. Karena Sangkrah merupakan tempat bermuaranya ketiga sungai tersebut, sampah-sampah tersebut banyak yang hanyut dan kemudian tersangkut di pintu air Demangan sehingga menghambat aliran air.
Selain itu timbul pendangkalan dari ketiga sungai tersebut yang berakibat meluapnya sungai yang terjadi pada musim hujan sehingga dampaknya kampung Sangkrah menjadi banjir
.”

Akibat dari sampah lainnya adalah sampah berupa sampah cair atau limbah. Limbah ini terjadi akibat dari pembuangan hasil produksi terutama limbah hasil industri tekstil, batik serta limbah rumah tangga yang biasanya langsung dibuang ke sungai. Limbah ini berakibat pada kualitas air tanah di Sangkrah, yang sudah tercemari limbah tersebut. Dampaknya sumur-sumur warga berubah warna dan baunya menyengat sehingga airnya tidak bisa di konsumsi untuk kehidupan sehari-hari terutama untuk warga yang bertempat tinggal di sepanjang area bantaran kali. Tetapi masalah ini mulai tertangani dengan di buatnya fasilitas sumur pompa dan sarana MCK (mandi, cuci, kakus) di setiap RW.            

Di kampung Sangkrah sendiri masalah mengenai kesehatan sangatlah retan dan kompleks. Masalah kesehatan yang dihadapi berupa krisis air bersih. Krisis air bersih terjadi akibat adanya pencemaran air limbah berupa hasil industri pabrik dan rumah tangga di sungai-sungai yang melewati Sangkrah. Pencemaran air limbah ini berdampak pada tercemarnya air tanah yang menjadi sumber air warga dari sumur pompa yang dibuat. Selain itu di Sangkrah terkenal dengan masalah sampah-sampahnya. Ini terjadi bukan hanya diakibatkan oleh warga Sangkrah sendiri tetapi kebanyakan sampah yang menumpuk itu merupakan sampah kiriman dari daerah lain yang hanyut sepanjang aliran sungai yang melewati Sangkrah.

Masalah lainnya yaitu kurangnya sarana fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) yang terjadi pada warga yang biasanya rumahnya di pinggir tanggul dan dekat aliran sungai. Ini karena kebanyakan warga tidak punya lahan cukup atau rumahnya hanya semi permanen sehingga tidak bisa membuat sarana MCK sendiri dalam rumahnya.

Pak Goso menuturkan, “Masalah air bersih, sampah dan sarana MCK berdampak pada kualitas kesehatan warganya yang sering terkena penyakit seperti kulit, pencernaan dan pernapasan.  Tetapi masalah ini perlahan-lahan tertangani, salah satunya masalah MCK. Sekarang ini sudah dibangun dan berdiri sarana fasilitas MCK terutama untuk warga yang bertempat tinggal di tanggul dan di dekat aliran sungai. Di Sangkrah sendiri fasilitas-fasilitas kesehatan juga tersedia seperti posyandu dan puskesmas.

Sungai Pepe sebagai “pembuangan” warga pinggiran Kali. Kata pembuangan ini seolah sudah sering terdengar di telinga. Pemukiman di pinggiran sungai sudah tak jarang ditemui di Surakarta berbagai penilaian muncul dari pandangan masyarakat perkotaan, dan tak jarang penilaian bahwa pemukiman pinggir kali itu kumuh, tidak sehat, harus direlokasi, warganya suka buang sampah disungai. Sungai memang kerap dijadikan pembuangan sampah oleh warga sekitarnya. Tetapi berbeda pada kampung Sangkrah, kampung ini menjadi hilir sungai Pepe sebelum bermuara ke Bengawan Surakarta. Sangkrah kerap dikatakan pusatnya sampah, terutama di sungai Pepe padahal yang terjadi adalah sampah-sampah ini tidak berasal dari kampung Sangkrah itu sendiri. Sampah ini sampah kiriman dari wilayah lain seperti Pasar Gede misalnya, yang akhirnya nanti berkumpul di penghujung sungai Pepe. Inilah penyebab mengapa Sungai Pepe di kampung Sangkrah banyak sampah berserakan.

Pak Goso menuturkan, “Dulu sungai Pepe itu tidak seperti sekarang ini, belum banyak sampah yang berserakan dan menumpuk di sepanjang aliran bantaran sungai. Kondisi airnya juga masih bersih, belum banyak tercemar oleh limbah, bahkan anak-anak kecil sering main dan mandi di sungai.”

Di muara sungai Pepe ada sebuah bangunan yang warga Sangkrah menyebutnya dengan pintu air Demangan. Pintu air Demangan ini mempunyai peranan sangat penting terutama bagi warga Sangkrah dan Surakarta sekitarnya. Pintu air ini berfungsi sebagai pengatur lalu lintas dan volume aliran air dari sungai Pepe dan Jenes yang akan bermuara ke sungai Bengawan Surakarta. Selain itu pintu air ini dibuat untuk mencegah dampak meluapnya sungai Bengawan Surakarta yang sering menimbulkan banjir pada musim hujan di Sangkrah.

Karena letak wilayah kampung Sangkrah lebih rendah dari bantaran sungai bengawan Surakarta.

Pak Goso menceritakan, “Pintu air Demangan merupakan salah satu pintu air di Kota Surakarta yang berguna mencegah meluapnya sungai Bengawan Surakarta ketika terjadi banjir di musim hujan. Pintu air ini dioperasikan pada saat volume air sungai Bengawan Surakarta meluap atau lebih tinggi dari sungai Pepe, sehingga pintu airnya harus ditutup. Tujuannya agar aliran air dari sungai Bengwan Surakarta tidak meluap dan membanjiri kampung Sangkrah. Sebaliknya apabila pada waktu kondisi air sungai normal, maka pintu air itu akan di buka semuanya. Sisi lain pintu air ini, sering dikunjungi warga untuk memancing ikan. Dan ada pula yang mencari sampah barang rongsokan, karena di pintu air itu banyak sampah yang menumpuk dan tersangkut, sehingga menghambat aliaran sungai. Ini sering di manfaatkan oleh pemulung.”

Pak Goso menambahkan, “Selain itu warga sering mengadakan kerja bakti di pintu air Demangan  yang diadakan sebulan sekali. Kegiatannya bertujuan untuk membersihkan sampah yang banyak sekali menumpuk dan tersangkut di pintu air. Selain itu juga menjaga dan merawatnya agar keberadaan pintu air ini terus bisa di gunakan dan di manfaatkan sebaik mungkin dan berkala.” Sungai Pepe dan pintu air Demangan adalah dua elemen yang penting yang tak bisa di pisahkan dari kampung Sangkrah.

Waktu datang ke kampung Sangkrah kesan pertama yang dilihat adalah gang-gang jalan yang sempit, kanan-kiri rumah yang saling berdempetan yang dibatasi pagar dan rumah yang jarang sekali mempunyai cukup halaman. Apabila Anda masuk lebih jauh lagi ke dalam gang tersebut, di sana akan Anda temui rumah-rumah semi permanen yang masih terbuat dari kayu. Menurut cerita Pak Goso, ketua RT 01 Sangkrah, “Di sini hampir 40% rumah-rumah semi permanen itu belum mempunyai sertifikat tanah dan ijin mendirikan bangunan (IMB). Masalahnya mereka mendirikan rumah di atas tanah warisan yang wakaf hak miliknya masih di proses oleh ahli warisnya.”

Sangkrah sendiri termasuk kampung yang kepadatan peduduknya tinggi. Menurut informasi yang kami peroleh dari Pak Goso, RT 01 yang luasnya hanya 1200m2 terdapat 60 kepala keluarga (KK). Dia menuturkan juga hampir 60% warganya masuk dalam keadaan keluarga prasejahtera (di bawah sejahtera). Warganya kebanyakan bermata pencaharian sebagai buruh pabrik industri, buruh bangunan, padagang dan pengepul barang rongsokan. Kebanyakan penduduknya berdomisili di luar kota Surakarta dan juga ada yang merantau ke luar daerah.

Kali Pepe di musim kemarau masih diandalkan sebagai tempat pembuangan sampah, dari sampah rumahan, industri, dan wong duwe gawe (orang puya hajat). Kebiasan ini terus berlanjut karena warga masih banyak yang yakin kalau hujan semua sampah akan hanyut ke sungai dan menjadi bersih kembali. Tetapi masalah yang timbul bukan hanya itu di musim kemarau volume air menjadi sangat sedikit bahkan hanya setengah lebar sungai. Hal ini membuat sampah semacam ditampung di pinggiran sungai. Tidak sampai itu saja, selain sampah merusak pemandangan, sampah menjadikan sungai sangat bau di musim kemarau. Selain endapan sampah yang membusuk, penyumbang bau itu salah satunya adalah dari pembuangan kamar mandi dan WC secara langsung yang tergenang dan tidak segera hanyut di musim kemarau.

Saat musim kemarau fisik kali yang biasanya tertutupi oleh air memperlihatkan realitas atas sejarah apa yang telah dilakukan manusia di tahun-tahun sebelumnya. Karena itu hal ini menjadi penting dan dapat dijadikan evaluasi atas kebijakan pemkot terhadap kali Pepe. Setelah melihat realitas yang ada sebenarnya kali Pepe menyimpan luka lagi, selain luka yang tampak seperti sampah, di mana terdapat gundukan tanah. Menurut seorang warga penghuni bantaran gundukan itu akibat bekas proyek yang tidak tuntas. Banyak material yang ditinggalkan begitu saja setelah pengerjaan dan tidak ada yang mengurusnya akhirnya material itu tertumpuk dan tertutup air di saat musim hujan dan lambat laun endapan dari material itu menjadi gundukan tanah yang cukup memakan lebar badan sungai.

Kata yang tepat adalah terjadi pendangkalan setelah pembangunan atau pembangunan yang mendangkalkan. Dari sumber warga yang sama konon katanya tahun lalu sempat diadakan pengerukan sungai akan tetapi sebelum pengerukan tuntas, hujan sudah mengakhiri tugas mesin beserta tukang keruk. Dari kasus tersebut dapat dimaknai pembangunan kali Pepe turut melukai kali Pepe, dan kasus ini berlaku di Sangkrah.

Bagaimana dengan kali Pepe di musim hujan? Sudah tentu dari hasil pengamatan keadaan di saat kering yang terdapat di Sangkrah, prediksinya adalah kali Pepe masih akan bermasalah pada musim hujan meski dengan upaya yang sudah dilakukan pemkot. Akan tetapi tidak bisa jika hanya menitik beratkan pada pemkot saja karena semua sampah bukan hasil buangan dari pemkot, tetapi manusia sebagai warga penghuni wilayah yang dilalui kali.

 

Bagian II:
Nur Diana W., Lestari Hiadayati Marfuah, Yohanita Pudyas S.,                            
Arum Sabtorini, Ratna Suci Ariyanti, M. Baharuddin Laffranz,                           
Rahmat Sugiyarto, Belva Hendry Lukmana

Berita Terkait