Rebel Cities: Kota sebagai Pusat Ketidakpuasan Politik

Karya David Harvey begitu banyak mengenai ekonomi politik, kali ini cenderung berbeda dari sebelumnya. Meski analisis yang ia bangun sebenarnya sama, bahwa kota dan kapitalisme menghasilkan sebuah ketidakadilan sosial. Buku REBEL CITIES (2012) ini menawarkan metode langsung cara menjalankan keadilan sosial bagi para warga urban. Buku ini lebih menawarkan semangat aktivisme, selain didukung dengan teori sosial yang sangat solid. Tidak seperti studi perkotaan yang selama ini muncul dengan teori-teori konvensional dan membosankan dari sudut pandang administrasi pemerintah dan birokrasi kapitalistik, buku ini ini menawarkan pandangan alternatif tentang bagaimana melihat sebuah kota dari sudut pandang yang berbeda.
Harvey menawarkan bahwa sudah seharusnya kota dibangun bukan untuk menciptakan kesenjangan dan keterasingan masyarakat klas bawah, melainkan perlu menciptakan kota sebagai ruang yang mampu menampung dan memeluk berbagai kepentingan kolektif dari siapapun. Kota seharusnya menampung segala negosiasi politik dan aksi yang beragam. Di lain sisi, kota harus menjadi semacam pusat kesadaran politik. Harvey menawarkan transformasi urbanisasi yang seharusnya dicari alternatifnya bukan dengan menciptakan kehidupan subsisten lanjutan dan keterasingan, melainkan menciptakan ruang-ruang yang penuh dengan negosiasi antar klas secara terbuka. Harvey tampak menawarkan satu sisi aspek dari ekonomi-politik alternatif dengan mengacu pada sejarawan Edward Palmer Thompson, yang mengatakan bahwa salah satu hak warga Negara adalah bekerja dengan terhubung dengan serikat dan komunitas-komuntias kultural di luar pabrik, sehingga tetap terdapat kontrol sosial terhadap pemilik modal.
Kota Sebagai Perjuangan Klas
Sebagai ruang heterogenitas, dalam kota terdapat hubungan plural bersifat antagonis atau pertentangan. Salah satu antagonisme adalah karena terjadinya extraction of value, di mana hampir semua warga kota saling melakukan proses sirkulasi nilai dan nilai-nilai yang mereka hasilkan ini kemudian terserap kembali ke dalam sirkulasi hutang dan konsumsi sehingga menyebabkan kaum urban tetap tinggal dalam kehidupan subsisten. Upah buruh dan karyawan misalnya, diambil kembali dalam bentuk mereka harus membayar sewa rumah dan kebutuhan kredit lainnya seperti motor. Pelanggan yang menggunakan telepon seluler, tiba-tiba mendapatkan potongan-potongan dalam jumlah kecil yang tak terasa dan tidak masuk akal. Demikian juga pemilik tanah hingga institusi keuangan dan kesehatan melakukan hal serupa. Karena itulah kota merupakan tempat perjuangan klas karena relasi-relasi sosial ekonomi di dalamnya sesungguhnya saling bertentangan. Semua pekerja, buruh hingga sopir taksi memproduksi nilai/ value, sehingga yang dilakukan oleh klas atas adalah bagaimana menyerap nilai produksi yang dimiliki oleh klas bawah kembali ke klas atas kaum borjuis.
Kaum borjuis mengekstraksi nilai dengan cara mendapatkan nilai tambah dari gaji buruh yang ditekan. David Harvey memperkenalkan istilah accumulation by dispossession (dalam istilah Karl Marx disebut dengan primitive accumulation) di mana kapitalis mendukung kebijakan neoliberalisme yang diterapkan di kota. Caranya adalah dengan melakukan sentralisasi kekayaan dan kekuasaan kapitalis tertentu dengan cara menswastanisasikan semua kebutuhan publik, seperti tanah hingga air.
Kota dibangun berdasarkan “accumulation by dispossession” di mana privatisasi men-transfer aset-aset publik yang produktif dan dimiliki Negara ke pengusaha-pengusaha swasta. Salah satunya adalah tanah dan air. Semua warga urban harus membayar kebutuhan publik yang seharusnya gratis. Privatisasi yang sukses berhasil menjual saham-saham mereka ke bursa. Ini yang kemudian membuat pengusaha provatisasi publik semakin kaya, mengingat mereka mengalihkan ranah yang seharusnya publik, seperti tanah dan air ke moda perputaran kapital. Sedangkan redistribusi hak dan penyediaan kebutuhan publik tidak dijalankan dengan baik oleh Negara. Dengan demikian, kota menjadi perjuangan klas karena semua hasil dari nilai lebih para pekerja kembali terserap untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan publik yang telah diswastakan, misalnya air dan sewa tanah.
Urbanisasi dari sudut pandang Ekonomi−Politik
Kapitalisme memerlukan urbanisasi untuk menyerap nilai lebih yang dibawa oleh para migran, buruh dan karyawan. Hukum “coercive laws of competition” atau persaingan antar pemilik perusahaan di perkotaan menyerap setiap individu untuk menjadi kaum urban baru dengan nilai tenaga kerja yang murah demi menghasilkan produksi yang massif sehingga menghasilkan nilai lebih bagi para pengusaha dan bos perusahaan di wilayah perkotaan. Dengan kata lain, Harvey berargumen bahwa urbanisasi selalu muncul sebagai fenomena klas, karena pertumbuhan kota pasti dihasilkan dari “surplus value” (nilai lebih) para pekerja yang menghidupkan ekonomi kota. Pertumbuhan kota sangat berkaitan dengan isu klas mengingat distribusi kekayaaan yang semakin terekstraksi pada kaum elit, persis ketika rejim kesejahteraan dan kekuasaan berpusat pada oligarki keagamaan di zaman pertengahan.
Kembali ke awal, Harvey menunjukkan bahwa masalah urbanisasi adalah soal ekonomi politik, karena ia dibangun untuk menjalankan sistem supply−demand dan penciptaan hutang yang dilakukan oleh kapitalis dengan cara menggiring kaum pekerja dari kawasan desa menuju ke perkotaan. Implikasinya kemudian kota menjadi ruang yang terbelah secara klas, antara kaum pekerja dan kapitalis. Pekerja menjadi alat untuk perputaran hutang semata. Pekerja hidup berdasarkan pada gaji yang dihitung berdasarkan konsumsi dasar, sehingga mereka tetap berada di ranah subsisten. Misalnya kita dapat temui lebih dari 30% pekerja di kota sebesar New York bergaji 10 ribu dollar setahun. Hal ini membuat jumlah pekerja yang besar tidak seimbang dengan jumlah kapitalis yang sedikit namun menguasai modal hutang yang demikian tinggi. Karena itulah kota-kota besar menjadi pusat ketidakpuasan politik (political discontent).
Kota kemudian menjadi sangat rapuh karena banyak sekali sejarah gerakan revolusi yang tumbuh dari dalam kota, seperti Boston Tea Party, Paris Commune, gerakan anti globalisasi di Seattle, Occupy Wall Street di New York, Demonstrasi Kairo dan Istanbul Turki, hingga gerakan buruh dan anak STM belakangan ini di Jakarta. Menariknya, gerakan demonstrasi dalam kota bukan bersifat independen, karena selalu menyebar, misalkan ketika peristiwa Paris Commune meletus, hal tersebut menyebar ke Milan hingga Frankfurt. Demikian juga dengan meletusnya Arab Spring, yang menyebar dari kota Tunisia, ke Kairo, Damaskus dan kota-kota lainnya. Terakhir tentu demonstrasi di Jakarta yang memicu demonstrasi di kota lainnya seperti Surabaya, Medan dan Batam. Harvey menyebutnya “momen simultanitas” yang hadir melalui jaringan urban dan adanya commonality atau kesamaan perasaan yang muncul ketika dalam menghadapi mode produksi kapitalisme yang mirip (Harvery, 161−164). Karena itu ia mengacu pada Antonio Negri. Mulai dari supir taksi, masinis, supir bus, hingga buruh pabrik mempunyai semacam “commonality” atau kesamaan rasa “senasib” terhadap sistem mode produksi, mengingat para pekerja ini digaji dengan sistem yang tidak lebih dari harga rata-rata konsumsi per-minggu atau per-bulan.
Para pekerja, buruh, masinis, supir bis, hingga supir pengantar barang adalah unsur/ element yang menciptakan nilai lebih (surplus value). Karena itu yang menghentak dalam buku ini adalah Harvey menawarkan pandangan bahwa transportasi barang salah satu penggerak kapitalisme yang paling signifikan. Supir-supir truk dan pelabuhan mengorganisir pasokan makanan untuk masuk ke dalam kota. Misalnya saja, Harvey mencontohkan bahwa kelaparan terjadi di La Paz ketika para supir melakukan mogok untuk mengirim pasokan kacang ibukota Bolivia ini (Harvey, 141−47). Harvey melihat terdapat kekuatan politis di dalam aksi mogok para supir ini, karena hal tersebut cukup mengganggu perputaran modal dalam kota.
Meluasnya pemiskinan di kota tidak hanya terjadi di ruang pabrik, melainkan telah menyebar pada semua pekerja di kota, seperti supir taksi, supir bis, tukang bersih jalan, masinis yang memproduksi “nilai”. Semuanya persis bernasib menyerupai “buruh”. Reaksi perjuangan klas dan relasinya pada saat ini datang tidak hanya dari para serikat buruh yang terorganisir, juga dari berbagai arah. Kota menjadi ruang gerakan politik karena apa yang terjadi pada ranah kerja dan tempat setelah kerja saling berhubungan. Untuk menjelaskan ini David Harvey mengacu pada karya dasar Das Kapital, Karl Marx mengenai perbedaan antara “produksi” dan “realisasi” yang semakin kontradiktif. Di Das Kapital bagian pertama Marx membahas soal “nilai produksi”, sedangkan Das Kapital bagian kedua adalah mengenai soal “realisasi”. Nilai produksi yang dihasilkan oleh “buruh” sangatlah tidak seimbang, tidak dapat dirasakan dan tidak dapat dilihat oleh “buruh” yang memproduksinya. Yang menjadi masalah dan memicu munculnya “commonality” adalah buruh menyadari bahwa “nilai produksi” yang ia hasilkan ternyata tidak seimbang dengan “realisasi” yang ia lihat di keseharian, di luar tempat kerja. Buruh, pekerja, karyawan menyadari bahwa harga sewa rumah semakin tinggi, konsumsi komoditas meningkat, harga sekolah yang tinggi, jeratan kredit listrik dan telekomunikasi yang mencekik dan inflasi yang terus melonjak.
Tiga Perbincangan Teori dan Satu Studi Etnografi
Pandangan Harvey dalam buku ini dipengaruhi oleh beberapa kalangan pemikir yang kontributif dalam mengkonsepsi ruang perkotaan. Pertama, Henri Lefebvre, The Right to the City, yang berpendapat bahwa tiap warga kota punya hak permintaan (right to demand) pada kebutuhan yang paling mendasar, seperti hak untuk tidak takut terhadap kondisi kota, hak untuk menikmati kota, hingga hak untuk menjadkan kota “bermakna” untuk warganya dan hak mendapatkan perumahan layak dan terjangkau.
Perlawanan yang muncul dalam masyarakat kota tidak lagi dibatasi pada sekumpulan “klas pekerja” semata yang bekerja secara eksklusif di pabrik, melainkan perlawanan telah terjadi pada beragam klas pekerja yang terfragmentasi, terbagi, cair dan tidak terorganisir. Contoh yang paling jelas adalah kota-kota tradisional seperti Yogyakarta yang kemudian dibunuh oleh over−akumulasi pertumbuhan kapitalisme. Reaksi yang muncul adalah penciptaan wilayah yang bersifat “heterotopic”, yang berbeda dari ruang publik yang seringkali dikooptasi oleh aturan dalam konstitusi Negara. Untuk menciptakan ruang heterotopis tidak diperlukan sebuah revolusi besar yang gegap gempita, karena heterotopis bersifat spontanitas, muncul dari kolektivitas dan merupakan reaksi politis keseharian. Reaksi kesadaran terhadap kondisi kota justru muncul secara kolektif dibanding individual. Kesadaran kolektif ini muncul dengan tujuan untuk menemukan definisi ulang terhadap sebuah kota yang semakin meng-alienasi warganya. Aksi kolektif heterotopis juga merupakan reaksi terhadap individualisme yang muncul akibat privatisasi di hampir semua ruang dan tanah di perkotaan.
Teori kedua, satu alur dengan Henri Lefebvre, tentu pandangan politik di atas serupa dengan tawaran tentang konsep “commonality” yang diajukan oleh Antonio Negri dan Michael Hardt, aktivisme sosial politik. Commonality melihat bahwa manusia pada dasarnya punya nilai kepentingan yg disepakati dan dibangun bersama (beda dengan konsep publik yang sering diokupansi oleh Negara). Commonality masyarakat merupakan jalan alternatif dari privatisasi dan monetisasi. Masyarakat urban punya hak untuk mengalokasikan kepentingan kolektif mereka dalam bentuk kegiatan pelesiran, koperasi bersama, asuransi, yayasan bersama hingga bersuara dan berkumpul bersama.
Hilangnya “public common” di bawah serangan komodifikasi dan klaim industri wisata dan Disneyfikasi, membuat semua lahan di perkotaan menjadi ladang bisnis dan sewa. Ruang “commonality” atau ruang yang muncul dari keinginan bersama merupakan tempat di mana masyarakat berbagi bahasa dan perasaan yang sama, menetapkan praktik sosial dengan tujuan bersama dan mendefinisikan ulang bentuk hubungan sosial. Tidak ada komodifikasi dalam relasi di ruang ini mengingat ruang ini berbeda dengan “public space”/ ruang publik yang selama ini telah menjadi kuasa Negara dan administrasi publik.
Selanjutnya Negri berargumen bahwa reaksi protes tidak datang dari satu kalangan klas secara ekslusif, melainkan bersifat “multiple informal” yang timbul secara cair, baik dari individu, faksi maupun komunalitas dari beragam etnis. Frase “multiple informal” inilah yang nantinya digunakan oleh studi Sian Lazar, seorang antropolog, dalam mengikuti proses keterlibatan protes warga dan buruh di kota El Alto, Bolivia.
Ketiga, Harvey mengacu pada konsep “distinction” dan modal simbolik yang diajukan oleh Pierre Bourdieu. Sebenarnya tujuan dari adanya modal simbolik berujung pada materialisme dan komodifikasi modal-modal simbolik yang dimiliki sebuah kota. Harvey mengungkapkan bahwa munculnya kesadaran terhadap kota sebagai simbolik kapital (misalnya I Love Amsterdam, I Love Malang dan sejenisnya) merupakan modal klaim sebuah kota untuk mengembangkan monopoli dan sewa-sewa tanah atas nama keunikan dan otentisitas, (baca: distinction) sebuah kota. Lantas, pemerintah kota punya klaim kultural untuk mencaplok tanah atau memonopoli ruang-ruang yang dianggap tidak produktif. Klaim atas nama distinction, bahwa sebuah kota mempunyai keunikan sejarah, lingkungan dan geografis menjadi alat sah Negara untuk menciptakan “branding” kota untuk akumulasi modal bisnis yang besar.
Di Indonesia, contoh paling konkrit adalah kota Batu−Malang yang mengalami Disneyfikasi. Pemerintah menjual keunikan Batu sebagai pemroduksi buah apel dan letak kota-nya terletak di dataran tinggi. Atas nama keunikan, pemerintah kota memonopoli tanah-tanah di kawasan Batu, pemerintah kota kemudian mengembangkan serangkaian hotel-hotel mewah dan taman-taman swasta yang sangat mahal, seperti BNS (Batu Night Spectaculer), Selecta, Batu Secret Zoo. Batu disulap menjadi Disney yang penuh hiburan dengan klaim bahwa tempat seperti Batu tidak dapat ditemui di wilayah lain. Disneyfikasi membuat memori kolektif warga Batu terhadap kotanya sendiri dirampas karena monumen-monumen baru yang sifatnya “kontemporer”/ kekinian diciptakan menjadikan orang Batu sendiri amnesia terhadap budaya dan sejarahnya sendiri. Nilai-nilai estetika baru mulai ditanamkan. Yang terpenting adalah masifnya komodifikasi tanah di Batu yang kemudian melonjak tinggi. Orang Batu pada akhirnya secara perlahan terdesak ke arah pinggiran. Kontribusi mereka terhadap kota-nya sendiri terabaikan. Para petani mulai bergeser ke arah pinggiran karena mereka mulai menjual tanah-tanah untuk investasi hotel, mengingat harga tanah yang naik drastis. Di sisi lain petani diperkenalkan dengan sistem hutang yang akut mengingat harus memproduksi buah apel secara intensif. Anehnya, meski Batu mengalami komersialisasi a la Disney, tapi mengapa sistem hidup petani masih di Batu masih subsisten?
Keempat, Harvey terinspirasi dari studi Sian Lazar yang memotret kondisi dan relasi sosial masyarakat El Alto di Bolivia. El Alto merupakan kota yang relatif baru dibangun pada tahun 1988. Kota ini dibangun di sekitar pertambangan timah yang telah diswastanisasi. Daerah pertanian di sekitarnya menjadi tergeser. Kota El Alto kemudian menyerap datangnya migran secara gradual dan hal ini menyebabkan harga tanah menjadi naik. Buruh tertekan karena harus membaya biaya sewa rumah yang mahal, ditambah para petani yang tergeser dari kawasan pinggiran El Alto. Revolusi kemudian bergejolak akibat kemiskinan yang akut, ditambah kenyatan bahwa hampir semua buruh di pertambangan timah adalah masyarakat Native American.
Reaksi dari masifnya kapitalisasi ruang dan sarana perkotaan, menyebabkan melebarnya aksi terhadap pengembangan ekonomi di kawasan ini. Ruang-ruang eksploitasi dan perlawanan selama ini yang hanya secara eksklusif dimiliki oleh kaum buruh di pabrik-pabrik melebar keluar. Sehingga isu pertentangan bukan lagi antar klas melainkan isu hak asasi, kedaulatan dan kewarganegaraan. Pada tataran yang tersudut, warga tidak perlu menjadi ideologis terdahulu ketika hak-hak paling mendasar paling dan umum pada masyarakat, seperti pemenuhan kebutuhan tanah, air dan sanitasi, hak berkumpul dan bersuara serta terinjaknya identitas dan harga diri, tidak terpenuhi. Adalah paling masuk akal sekali dan paling instingtif dari manusia jika kebutuhan dasar mereka dirampas. Tidak berarti kemudian warga kota menjadi anti-kapitalis, melainkan cara gerak kapitalisme yang melanggar hak dasar kewarganegaraan, hak asasi manusia dan hak kedaulatan inilah yang kemudian menjadi masalah besar. Namun demikian, tuntutan terhadap hak kewarganegaraan (citizenship) tidak pula seperti dalam pandangan barat yang cenderung individualistis, melainkan di El Alto tuntutan hak kewarganegaraan berlipat, baik itu individual, komunal, faksional yang melibatkan serikat buruh, masyarakat indigenous, hingga partai-partai politik populis.
Protes di El Alto menjadi sangat cair karena organisasi gerakan bersifat informal yang mengaitkan dengan lini-lini yang bersifat tradisional maupun kontemporer seperti serikat buruh, komunitas ketetanggaan, organisasi-organisasi baru yang lebih kontemporer sehingga membentuk tatanan yang disebut “nested hierarchies” atau berjejaring seperti sarang burung yang terajut secara vertikal dan horizontal. Studi David Harvey tentang kota menunjukkan seperti apa yang dikatakan oleh Antonio Negri dan Michael Hardt dalam buku mereka, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (2004): “Telah datang suatu masa di mana perlawanan terjadi bukan hanya ada pada buruh-buruh pabrik, tapi muncul dari semua kalangan: seniman, tukang sampah, masinis, supir bis, pendeta, murid sekolah, anak muda, hingga ibu-ibu. Mereka datang dari beragam etnis, ras dan agama. Mereka melawan, karena kapitalisme telah merangsek seperti manusia yang menyerang rumah lebah dan menyebabkan kemarahan penghuninya. Lebah-lebah itu menyerang dengan cara menyebar, namun pada saat yang sama berkumpul kembali dan terus menyerang kembali…”
Oleh Hatib Kadir
Antopolog Universitas Brawijaya
Disalin ulang seijin penulis dari https://econanthro.wordpress.com/2020/01/05/rebel-cities-kota-sebagai-pusat-ketidakpuasan-politik-2/