Punden-Punden Kota Sala

Di belakang rumah saya ada punden. Masyarakat dusun tempat saya tinggal menyebutnya Sendang Panguripan. Sendang ini mirip seperti sumur dengan tangga berundak ke bawah. Berada di tengah halaman berbatas pagar bata, di antara beberapa pohon besar. Setiap Kamis Pahing di bulan Sura, selepas azar, beberapa dari kami masih menggelar bancakan (merti desa) sederhana di situs tersebut. Saya, sebagai warga pendatang, baru dua kali turut serta.
Menurut cerita para sepuh, dulu semua penduduk dusun hadir setiap kali merti desa digelar. Bahkan ada juga warga dusun lain (dalam satu desa) yang turut serta. Sendang Panguripan ini sumur tertua di desa tempat saya tinggal. Lebih tua dibanding sumur (punden) dusun-dusun lain (dalam satu desa). Itulah makanya merti desa di dusun-dusun lain belum akan diselenggarakan kalau merti desa di Sendang Panguripan belum digelar. Sampai sekarang “aturan” tersebut masih dijalankan.
Merti desa di dusun tempat saya tinggal dari dulunya memang sederhana. Hanya berdoa dan makan bersama. Sampai sekarang masih tetap sama. Bedanya, yang turut serta dalam ritual tersebut sekarang tidak sebanyak dulu. Ada beberapa hal penyebabnya. Di antaranya, menurut keterangan tetangga, karena banyak pendatang baru yang secara emosional tidak punya ikatan dengan sejarah cikal bakal dusun, banyak yang tidak bisa meluangkan waktu untuk turut serta dalam kegiatan merti desa (karena aktivitas produktif sehari-hari mereka), dan ada pula yang menganggap ritual semacam itu tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
Sendang Panguripan, sebagai punden, memang terasa kurang terawat. Meskipun kadang saya masih menjumpai ada yang caos dhahar, memberi sesaji, pada ingkang mbahureksa sendang, masih ada aturan-aturan dan, atau, larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar setiap kali berada di area sendang, dan masih ada cerita-cerita gaib beredar seputar kesaktian ingkang mbahureksa sendang. Dua kali saya menyaksikan Sendang Panguripan dikuras, dibersihkan (menjelang merti desa). Menurut salah seorang warga yang “bertugas” menguras, debit air sendang menyusut banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sendang Panguripan rupanya semakin surut pamornya.
Memperhatikan Sendang Panguripan, saya jadi teringat dengan situs punden-punden di kampung-kampung kota Sala (kampung-kampung di kota Sala banyak yang dulunya adalah kawasan pedesaan dan, atau, pedusunan tepi sungai yang teraglomerasi menjadi kampung perkotaan) dan mengira-ira bagaimana nasibnya. Kalau Sendang Panguripan yang masih berada di kawasan yang secara administratif berstatus dusun saja surut pamornya, lalu bagaimana pamor punden-punden di kota Sala (dan, atau, kota-kota lainnya)?
Salah satu punden yang masih dikenal di kota Sala adalah sumur Mbah Meyek. Konon danyang (ingkang mbahureksa) sumur tersebut bernama mbah Meyek. Situs tersebut terletak di kampung Bibis Kulon, kelurahan Gilingan, kecamatan Banjarsari. Masyarakat kampung Bibis Kulon sampai sekarang masih terus menyelenggarakan upacara merti desa (meskipun daerah tersebut sudah bukan lagi desa). Setiap kali diselenggarakan merti desa (pada Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon di bulan Sura), puncak acaranya selalu pementasan wayang kulit. Tidak boleh tidak. Kalau merti desa dan syarat utamanya, pementasan wayang kulit, tidak diselenggarakan, dipercaya akan mengakibatkan bencana bagi kampung mereka. Selain Mbah Meyek tidak banyak lagi situs punden di Sala yang dikenal oleh masyarakat, bahkan –banyak terjadi- oleh warga kampung tempat situs-situs punden tersebut berada.
Banyak kajian tentang keberadaan punden dan kebudayaan masyarakat tempat situs tersebut berada. Punden dilihat tidak hanya sekadar sebagai penanda kepercayaan masyarakat tetapi juga identitas komunitas (termasuk sejarah cikal bakal sebuah komunitas) dan, bahkan, situs perlawanan terhadap “yang dominan”. Kuntowijoyo dalam bukunya Raja, Priyayi dan Kawula (2004), misalnya, menunjukkan fenomena “soemoer elok” di kampung Bratan (1914), Laweyan, yang permukaan airnya -berkat dhemit Gajahan- bisa mencitrakan sosok dua orang haji sedang berdzikir, seekor harimau dan gajah, lintang alihan dan rembulan, dan banyak cerita lagi, sebagai ekspresi perlawanan terhadap budaya karaton dan elite perkotaan (budaya dominan) di Sala waktu itu.
Kuntowijoyo, dalam buku tersebut, menyebutkan bahwa konsumsi simbol karaton semakin jauh dari pusat nagari semakin menipis. Semakin menipisnya eksistensi simbol karaton ini berbanding terbalik dengan semakin kuatnya ekspresi perlawanan simbolik para kawula. Keberadaan danyang-danyang atau dhemit-dhemit kampung dilihatnya sebagai perlawanan terhadap Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya oleh karaton sebagai pelindung kerajaan.
Longgarnya ikatan simbolik komunitas warga kota Sala ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh, salah satunya, keberadaan komunitas kampung-kampung kota yang sudah ada sebelum karaton Kasunanan Surakarta berdiri di desa Sala (dipindahkan dari Kartasura). Kampung-kampung kota yang dulunya komunitas pedesaan/pedusunan tepi sungai. Komunitas-komunitas warga tersebut mempunyai ikatan primordialitas yang kuat, bahkan setelah desa-desa mereka dilebur menjadi satu kawasan kota bernama Surakarta Hadiningrat (yang kemudian terbagi dua dengan Kadipaten Mangkunegaran, lalu disatukan lagi dalam konsep kota modern oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sampai kemudian menjadi kota/kotamadya di era pasca revolusi kemerdekaan).
Kampung-kampung yang ada di kota Sala pada akhirnya memang tidak semuanya bermula dari desa-desa yang teraglomerasi. Ada juga perkampungan yang muncul setelah karaton Kasunanan Surakarta berdiri di desa Sala (dan munculnya kadipaten Mangkunegaran). Kampung-kampung tersebut terbentuk dari praktik magersari. Para kawula/rakyat yang diperkenankan magersari di tanah-tanah para bangsawan atau para sentana (yang mendapat hadiah tanah dari Sinuhun dan, atau, Adipati Mangkunegara). Ada juga kampung yang bermula dari komunitas profesi, komunitas bangsa, kawasan pasar dan sebagainya.
Latar belakang terbentuknya kampung di kota Sala akhirnya memang berbeda-beda (tidak semuanya aglomerasi dari komunitas desa/dusun), namun ikatan yang menentukan terbentuknya kampung sama: kesetaraan. Kampung yang bermula dari praktik magersari pun pada perkembangannya tidak ditentukan oleh patronnya, bukan oleh para ndara, tapi oleh warga magersarinya, para kawula. Kampung terbentuk oleh ikatan primordial dalam wacana kesetaraan.
Warga magersari di kota Sala biasanya berasal dari kawasan pedesaan, kebanyakan kerabat sang patron sendiri (banyak sentana yang dulunya berasal dari desa). Kampung yang terbentuk dari komunitas profesi juga tidak jauh berbeda: berasal dari desa (misalnya komunitas undagi, sayangan, kalang, kemasan dan sebagainya). Selain itu, yang agak berbeda, ada juga yang bermula dari komunitas bangsa atau ras yang berbeda (misalnya komunitas Bali, komunitas Madura, komunitas Tionghoa, komunitas Arab dan sebagainya). Warga kampung yang bermula dari komunitas bangsa atau ras yang berbeda ini pun diikat dalam ikatan primordialitas dan kesetaraan.
Kesetaraan di kalangan kawula dan warga kota lainnya yang tidak mempunyai ikatan patron-klien (tiyang mardika) bukannya sama sekali tidak terstruktur dalam tatanan strata. Stratifikasi dalam kesetaraan itu tetap ada. Dalam komunitas tersebut tetap ada yang duduk sebagai elite komunitas. Biasanya disebut sebagai “yang dituakan”. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dipercaya mempunyai kelebihan, baik profan maupun sakral. Dalam hubungan patron-klien dalam kawasan magersari, merekalah yang menjadi jembatan penghubung antara para ndara dan para kawula (warga magersari).
Memang setidaknya ada empat bentuk cikal bakal kampung di kota Sala. Ada yang bermula dari komunitas pedusunan/desa yang sudah ada sebelum kota ini terbentuk, ada yang bermula dari komunitas magersari, ada yang bermula dari komunitas profesi (dan ini masih bisa dibedakan menjadi dua: para kawula karaton/kadipaten dan kalangan tiyang mardika) dan ada pula yang bermula dari komunitas bangsa/ras (para perantau). Meskipun begitu karakter masing-masing komunitas berbeda-beda, masing-masing mempunyai keunikannya sendiri. Perbedaan-perbedaan tersebut yang membuat kota Sala kaya ragam, plural. Perbedaan-perbedaan tersebut embrio suburnya demokrasi di kota ini, meskipun dikenal –apalagi dalam wacana pariwisata- sebagai kota eks vorstenlanden (tanah raja-raja). Ekspresi feodalistik diterima dalam kerangka primordialitas yang plural dan demokratis.
Sebagaimana komunitas-komunitas manusia yang beradab, warga kampung kota Sala ini menyejarah. Sejarah dan keberadaban didudukkan dalam konsep sangkan paraning dumadi, keberadaan dan tujuan hidup yang beradab ditentukan juga dari cikal bakal. Komunitas-komunitas warga yang hidup di kota Sala berupaya dengan sadar membangun keutuhan hidup dan keberlanjutan hidup mereka di atas pondasi tersebut. Dari konsep sangkan paraning dumadi inilah mereka tahu yang disebut jangkep. Dan itulah keutamaan hidup mereka. Manusia yang berhasil dalam konsep tersebut bukanlah yang kaya raya, berkuasa, berpengetahuan atau yang kondang kaonang-onang, tapi yang jangkep. Manusia yang bisa merangkai, menyatukan dan menemukan keutuhan hidup yang menyejarah.
Keutamaan tersebut mereka tandai dalam simbol-simbol, di antaranya diekspresikan sebagai situs punden. Punden ini penanda atas cita-cita terbentuknya keutuhan dan keberlanjutan hidup: jangkep dalam sangkan paraning dumadi. Itulah makanya punden dalam komunitas masyarakat yang masih mempunyai ikatan primordialitas kuat sangat dihormati. Menghormati punden sama saja menghormati sejarah, keberadaan, tujuan hidup dan keberlanjutan hidup mereka sendiri. Punden bukan sekadar cikal bakal dalam arti kemasalaluan, punden adalah sekarang dan proyeksi-proyeksi masa depan.
Punden dalam sebuah komunitas masyarakat tentu bentukan. Pernah tidak ada sebelumnya (maka sering disebut sebagai cikal bakal juga). Artinya, kalau itu bentukan, berarti kita bisa dan boleh menciptakan punden-punden baru dan atau –bahkan- menciptakan pemaknaan “baru” atas punden yang sudah ada. Seperti halnya simbol-simbol kebudayaan dalam masyarakat. Tetapi, sepertinya halnya kreasi simbolik, penciptaan punden (dan atau pemaknaan baru atas keberadaan punden yang sudah ada) ini adalah kreasi yang berlandaskan akan kesadaran menakar kedalaman-kedalaman hidup pada setiap jaman: hal ikhwal sangkan paraning dumadi.
Baik punden yang sudah ada dengan pemaknaan lama yang masih lestari, punden lama dengan pemaknaan sekarang, maupun punden-punden baru yang bertolak dari hasil takaran kedalaman-kedalaman hidup sekarang, semuanya menyoal hal ikhwal sangkan paraning dumadi. Punden adalah statement identitas sebuah komunitas (yang akarnya kuat mencengkeram) sekaligus penanda, pengingat atau peneguh kehendak mereka untuk menemukan keutuhan hidup dalam sangkan paraning dumadi.
Meskipun sekarang kondisinya tidak seperti dulu lagi, setidaknya Sendang Panguripan di belakang rumah saya masih dihormati sebagai punden komunitas masyarakat dusun tempat saya tinggal. Artinya beberapa dari kami masih memegang keutamaan hidup berkomunitas yang beridentitas, beradab dan menyejarah. Lalu, bagaimana dengan komunitas warga yang hidup di kampung-kampung kota Sala? Apakah masih ada punden di tengah kehidupan mereka sehari-hari?
Oleh Albertus Rusputranto P.A/Seni Rupa FSRD ISI Surakarta
Sumber foto https://www.solopos.com/asale-makam-mbah-minggir-di-benowo-palur-karanganyar-1114338