Perihal Kampung dan Kerinduan Itu

Santi Almufaroh

Membicarakan kampung seperti halnya menghitung jumlah kendaraan di jalan raya. Kita merasa tak cukup waktu. Selalu ada yang mencuat ketika perbincangan hampir tunai. Bukan hanya pepohonan rindang, bulir padi pada tangkai yang menguning, jernih air sungai dan kecipak ikan-ikan, namun perihal adat kampung yang masih terjaga atau kebiasaan-kebiasaan masa kecil.

Kampung saya bernama Kancilan, berdekatan dengan Pantai Benteng Portugis, Jepara.  Nama yang cukup unik dan terdengar menggelikan. Dan, hingga kini saya belum mengetahui asal-muasal pemberian nama tersebut kepada kampung saya. Tidak ada kitab, prasasti, atau cerita lisan yang diturunkan di generasi saya, kakak, atau pun bapak saya. Namun, saya meyakini bahwa kampung saya tidak mempunyai hubungan dengan cerita hewan yang mengakar pada masyarakat yaitu Kancil Mencuri Ketimun. Toh, pada kenyataannya jarang sekali ditemukan kasus-kasus pencurian di kampung saya.

Alam dan Masa Kecil

Ada baiknya jika cerita ini saya awali dengan masa kecil yang cukup romantis dengan keadaan alam kampung saya. Saya terlahir dari keluarga petani sederhana. Bapak saya menumbuhkan rasa cinta terhadap tanaman dengan mengajak saya ke sawah. Entah hanya memandangnya dari gubug yang dibangun di pematang atau bermain air di galengan atau mencari kepiting sungai dan membakarnya di hutan yang berbatasan dengan sungai kecil. Betapa sulitnya mematahkan capit yang sanggup merobek jari-jari dan melemparkannya ke atas bara hingga menimbulkan bunyi gemeratakan. Duh, harum kepiting bakar itu…

Di ujung timur sawah terdapat sungai besar dengan batu-batu raksasa bertumpuk seukuran tempat tidur saya. Sewaktu senja, saya dan adik saya sering menuruni tangga menikung yang terbuat dari tanah untuk bisa mencapai ke sungai itu. Saya berbaring di salah satu batu tersebut. Memandang air bening yang mengucur deras dari galengan yang jatuh menimpa cekungan di pinggir sungai. Ah, betapa segarnya sewaktu saya menangkupkan telapak dan membasuhnya ke wajah. Saya membayangkan wajah saya berseri-seri tertimpa cahaya senja saat itu.

Hal yang paling saya nantikan adalah saat panen. Hari di mana kami berkumpul di sawah dan menyantap ayam panggang yang telah diberi mantra oleh Pak Modin. Setelah itu, kami bergulat dengan batang-batang padi yang gatal dan keong-keong yang berkumpul di akar-akar padi sembari mengeluarkan telur-telurnya yang berwarna peach di lembaran daun-daun padi. Tentunya saya lebih suka mengorek-orek telur-telur keong yang menyala, lantas saya larung ke dalam sungai, ketimbang membabat batang padi atau mengumpulkan keong. Hati saya selalu berdebar-debar menyaksikan telur-telur itu timbul-tenggelam, entah dimakan ikan atau disambar kepiting. Memusnahkan calon-calon keong itu dan tidak membiarkannya tumbuh, agar mereka tidak merusak padi yang ditanam oleh bapak. Saya menikmati kekejaman itu dengan rasa puas yang berlimpah.

Kebiasaan-kebiasaan

Saya punya kebiasaan yang bisa dibilang aneh oleh orang-orang di sekitar saya. Setiap kali mendekati waktu makan, saya harus menyiapkan sebuah buku bacaan untuk teman makan. Saya merasa belum kenyang kalau makan tanpa buku. Seolah makanan itu hanya numpang lewat di lambung saya, lantas menguar kemana saya pun tidak tahu.

Entah hal apa yang mengawali kebiasaan itu. Seingat saya, kerap saya telungkup di bawah bangku di ruang tamu sembari memegang buku, sesekali menyuapkan nasi ke mulut. Itu saya lakukan kalau tidak ketahuan orangtua saya. Ketika mereka memergoki otomatis saya mengubah posisi makan yang baik, yaitu duduk di kursi tanpa buku di tangan.

Masih berkaitan dengan membaca, seusai makan, kerap saya melanjutkan membaca di atas pohon rambutan di samping kanan rumah. Barangkali karena angin bertiup begitu lembut, tanpa sadar saya sering tertidur dengan buku yang masih terbuka.

Dan, kebiasaan-kebiasaan itu berhenti ketika menjelang SMA. Meski tidak mengharapkan, entah kenapa hampir semua buku yang saya baca selalu saya bayangkan. Saya berimajinasi seliar-liarnya. Saya selalu mengangankan kalau saya adalah tokoh utama yang sedang saya baca. Saya pernah tidur di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar, karena saya membaca novel Tahan Dingin. Padahal cuaca di kampung saya luar biasa dingin ketika malam hari. Apalagi hanya ada suara jangkrik dan anjing yang sesekali menggonggong. Suasana kampung saya kian mencekam.

Hal-hal Lain

Dua puluh dua tahun silam, kampung saya belum terjamah listrik. Saya ingat betul, nenek saya sering menyalakan obor di depan rumah. Saya diminta untuk membeli minyak tanah dan memasangnya di pinggir jalan raya. Ketika itu, jalan masih berupa repihan debu dan pecahan batu.  

Kini, banyak sekali perubahan yang terjadi pada kampung saya. Beberapa tahun saya hidup di kota, dan ketika kembali ke kampung, saya merasa ada yang hilang darinya. Terdapat semacam kerinduan akan kampung saya yang dulu. Rindu dengan bau tanah basah sehabis hujan, basah embun di daun-daun sewaktu dinihari, angin semilir ketika siang hari, penyalaan obor di seluruh kampung, lenguhan sapi di malam hari, bermain kasti setelah sahur, harum pindang ikan yang dimasak ibu ketika Jumat siang, makan tebu dan buah cokelat curian, bermain pasir di pantai tanpa menyentuh sampah plastik.

Saya benar-benar merindu ..

Pecinta martabak telur dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer

 

         

Berita Terkait