Pakune Tanah Jowo Njebluk : Sejarah Eko-Kultura Gunung Suci Mahameru

Bukan hanya persambungan kayu yang perlu dimantapkan dengan paku, di dalam mitologi Jawa, pulau pun membutuhkan "paku (baca "pasak")" untuk bisa menstabilkannya. Dalam "Tantu Panggelaran", yakni susastra gancaran berbahasa Jawa Tengahan yang disurat pada masa akhir Majapahit, perihal itu terkisah di dalamnya. Selain itu, Tantu Panggelaran juga mengkisahkan penciptaan manusia di Pulau Jawa beserta segala aturan yang harus ditaati oleh manusia. Dinarasikan pula tentang adanya gunung-gunung suci (holy mountains) di Jawa beserta Dewa-Dewa yang mensemayaminya masing-masing. Mahameru merupakan salah sebuah diantara gunung-gunung suci di Jawa tersebut. Suatu gunung berapi (vulcan) yang kini menyandang status sebagai "gunung api aktif".  
 
Semeru, "Pasak"-nya Jawadwipa
 
Dalam teks "Tantu Panggelaran" yang disun- ting oleh Th. G. Th. Pugeud pada tahun 1924 dikisahkan bahwa pada mulanya Dwipa Jawa yang tak berpenghuni labil posisinya, lantaran terkena hempasan bertubi-tubi dan dahsyat ombak Laut Selatan Jawa. Untuk mengatasi keadaannya yang "khaotis" itu, Pulau Jawa membutuhkan gunung buat menstabilkannya, supaya tidak bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis itu adalah Gunung Dihyang (kini "Dieng"). Ada- pun proses pengaturannya berjalan sebagai berikut. Para Dewa "memotong" Kailasa, yaitu puncak Meru (sebutan arkais gunung tertinggi di dunia "Himalaya"), kemudian memboyong dari Jambudwipa (sebutan arkais buat "India") ke Jawadwipa untuk dijadikan sebagai "pasak" guna menstabilkan Pulau Jawa. 

Potongan kemuncak Meru itu pada mulanya ditempatkan di sebelah barat dari Pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah timur pulau terangkat ke atas. Oleh karena itu, para dewa menggesernya ke arah timur pulau Jawa. Sepanjang perjalan- an untuk pemindahan itu beberapa kali rompal dan berceceran. Beberapa rompalannya men- jadi (1) Gunung Katong (3.265 m Dpl, sekarang disebut "Lawu"), (2) Wilis (2169 m), (3) Kampud (2.713 m) kini dinamai "Kelud"), (4) Kawi (263 m), (5) Arjuna (3 339 m), (6) Kumukus (3.156 m, disebut juga "Walirang, atau Welirang"), dan bagian utamanya adalah (7) Semeru (3 676 m). Setelah itu, barulah keadaan pulau Jawa men- jadi stabil, tidak bergoncang lagi. 

Kosmologi "pemindahan kemuncak Meru" dari Jambudwipa ke Jawadwipa itu terkait dengan fenomena budayaera Majapahit, yakni proses "Javanisasi (pen-Jawa-an). Hal-hal yang berke- naan dengan pengaruh budaya India "dilokal- Jawakan". Tidak tanggung-tanggung, gunung suci bagi agama Hindu dan Budha, yakni Meru (Himayala) yang puncaknya dijadikan sebagai tempat persemayaman para Dewa (Kaindran) dipotong, lalu diboyong ke Pulau Jawa. Dengan demikian, maka Kaindran telah tak lagi berada di India, dan para dewa hadir langsung di Jawa. Begitu pula pusat kosmos, yang berupa Meru digeser ke Nusa Jawa, tempatnya Jawa bagian timur. Semeru sekaligus dijadikan "pasak" buat mebstabilkan Jawadwipa. Fenomena ini yang oleh FDK Bosch diistilahi "Local Genius" seba& gai perwujudan akulturasi kultural Jawa.

Tergambarlag bahwa dibutuhkan pasak besar berupa gunung untuk menstabilkan Jawa, dan "pasak"nya itu adalah Gunung Semeru (Sumeru atau Mahameru), yakni gunung yang tertinggi di Pulau Jawa (3.676 meter). Lantaran Gunung Semeru berasal atau terbentuk dari kemuncak gunung suci Himalaya, maka Semeru pun di- konsepsi sebagai "gunung suci". Oleh sebab itu dapat difahami bila bangunan-bangunan suci (lazim disebut dengan "candi"), utamanya di kawasan Malangraya, acap berorientasi atau mengkilblat ke arah Mahameru. Malahan, pada era kerajaan Tumapel (Singhasari), terkesan bahwa Semeru dijadikan "gunung suci"-nya kerajaan Singhasari -- bandingkanlah dengan Penanggungan sebagai gunung sucinya kera- jaan Majaphit. Coba bayangkan, bila Semeru yang merupakan "pasak"-nya Pulau Jawa itu mengalami kegoncangan lantaran letusannya, maka Pulau Jawa yang nota bene "dipasak- stabilkan' olehnya tentulah turut mengalami kegocangan pula.

Gunung Berapi "Berkah dan Bencana"

Bersama dengan Gunung Bromo tetang- ganya, Semeru adalah gunung api aktif. Sebenarnya, letusan-letusan kecil yang ibarat "batuk kecil" rajin terjadi padanya, bahkan setiap hari pada kaldera Semeru. Kendatipun demikian, pada waktu tertentu Semeru pun ingin "batuk lebih besar" dengan letusan (eksplosi)-nya, sembari "memuntahkan dahaknya". Peristiwa demikian terjadi pada penghujung tahun 2020, tepatnya pada tanggal 1 dan 2 Desember 2020, Semeru kembali meletus (bahasa Jawa Baru "Njebluk"). Sebutan "njebluk" adalah istilah "omomatopae", yang mendasarkan pada bunyi dari sesuatu itu, yaitu suara letusan "bluk", yang lantas menjadi "jebluk" atau "njebluk". 
Paparan vulkanik dari Gunung Semeru, baik lahar panas, lahar dingin maupun awan panas cenderung mengarah ke sisi selatan, yakni ke Lumajang Selatan dan Malang Selatan. Oleh karena itu, material vulkanik yang berupa pasir dan batuan banyak kedapatan di kawasan ini, yang dijadikan sebagai barang tambang, baik oleh warga masyarakat ataupun perusahaan tambang. Pada satu sisi, peristiwa vulkanik itu mendatangkan bencana (kata arkais "bancana, mala, pataka"). Namun, pada sisi lain ada pula berkah kesuburan serta kekayaan alam yang terbentuk olehnya. Dengan kata.lain, gunung api memberi "berkah, sekaligus bencana". 

Terhadap anugerah (waranugraha) alamnya, ragam makhluk hidup mendapat kesejahteraan hidup. Namun sebaliknya, lantaran bencana yang ditumpahkannya, maka timbul kerusakan dan kemusnahan har- ta, benda dan jiwa. Areal gunung berapi menarik untuk didatang bahkan dijadi- kan areal hunian. Gunung berapi yang tengah ugra (murka) musti dijauhi, dan areal rawan bencana padanya wajib dihindari untuk permukiman. Sebenarnya manusia tahu akan resiko tinggal atau mencari nafkah pada area paparan gunung berapi. Atas kefamannya itu, para pemu- kim dan pekerja di areal vulkanik musti memiliki kepekaan dan kesadaran untuk memitigasikan diri terhadap dampak gunung api. Kendati demikian, ada pula orang-orang yang "mbadel", tidak takut resiko bencana, dan akibatnya menjadi korban bencana. 

Ritus Religio-Magis Redam Murka Alam

Kesadaran akan dampak vulkanik itulah yang menjadi pertimbangan bagi manusia di masa lampau untuk "meredam murka gunung api", dengan membuat tempat upacara dan menye- lenggarakan ritus religio-magis guna redam murka alam. Pada lereng selatan dan timur Mahameru terdapat tidak sedikit candi atau punden berundak beserta arca-arca Dewata sebagai perangkat upacara, antara lain untuk kepentingan protektorik agar terlndung dan terhindar dari bencana vulkanik. Peniggalan candi-patirthan yang bertema "Samorananrana" misalnya kedapatan di Dusun Jurang Peteng Desa Taman Ksatrian di Ampel Gading -- kini miniatur candi Ampel Gading A dan B menjadi benda koleksi pada Museum Trowulan.

Reruntuhan candi juga kedapatan di daerah Candipuro Lumajang. Candi Hindu sekte Siwa dari tatanan bata ini dinanai "Gedong Putri" oleh warga setemoat. Jejak arkeologis lainnya dari masa Hindu-Buddha yang muasalnya dari lereng Semeru Selatan yang betupa Ganesya dalam posisi berdiri dari Desa Sumber Petung Amat mungkin arca yang artistik dengan gaya seni Phalka ini konon berfungsi "protektorik", yaitu penolak bahaya, sesuai fungsi khususnya sebagai "vicneswara (vicna+Iswara, Dewata pe- niada bahaya). Patung Ganesya yang menurut gaya ikonografinya berasal dari masa kerajaan Singhasari itu sayang kini berada di Museum Leiden, Negeri Belanda.

Fungsi Ganesya yang demikian serupa dengan fungsi patung Bhima, yang jejaknya berhasil didapati di situs Arcopodo, yang telah dekat lokasinya dengan lereng berpasir menunju ke puncak Semeru. Keberadaan situs ini pertama dijumpai oleh alm. Norman Edwin dan Herman O Lantang dari Mapala UI tahun 1984, dan dua tahun sesudahnya kembali didatangi serta di- tuliskannya di majalah Swara Alam tahun 1986. Setelah itu arca di situs Arcapodo tak diketahui keberadaannya, seolah hilang misterius. Baru dijumpai lagi pada November 2011 oleh Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas. Situs Arcopodo yang konon berupa punden berundak dengan orentasi ke puncak Semeru merupakan tempat upacara "meredam murka alam", dan sekaligus "satra (persinggahan)" bagi peziarah yang hen- dak memuncak. 

Pada lereng selatan Gunung Semeru itu pula sejumlah karsyan (tempat kegiatan keagamaan bagi komunitas Rsi), seperti Rupit, Kukub, dsb. Karsyan Kukub bisa jadi berada di perkebunan Gerbo. Adapun Karsyan Rupit sangat mungkin berada di perkebunan Njawar, yang terlindung oleh Gunung Widodaren di Kec. Ampelgading, wilayah Malang Selatan. Keberadaan Karsyan Kukup dan Rupit diberitakan di dalam kakawin Nagarakretagama, kitab Tantupenggelaran dan Kidung Panji Margasnara dari akhir Majapahit, maupun catatan perjalanan Bhujangga Manik.

Jejak serupa juga kedaptan di Lumajang, yang antara lain berupa sort inscriptions (prasasti- prasasti pendek) dari Desa Pasrujambe, dekat aliran Kali Rawa. Prasasti-prasasti itu asalnya juga pada era akhir Majapahit. Salah sebuah diantara prasasti pendek tersebut memuat ta- rikh 1459 Masehi dan menggambarkan tentang kehidupan kaum Brahmana yang tinggal dalam komunitas keagamaan di lereng timur Semeru. Jika dikomparasikan terdapat keserupaan isi maupun bentuk aksara (paleografi) antara pra- sasti Pasrujambe, prasasti Gerbo dan prasasti Widodaren, yang memberi petunjuk mengenai kesamaan era dan konteks religinya. 

Paparan sekilas pada tiga alinea diatas mem- beri gambaran bahwa di sejumlah tempat pada lereng selatan Semeru konon terdapat adanya sejumlah tempat peribadatan dan permukiman kuno, diantaranya adalah komunitas kegamaan Rsi (karsyan). Gambaran demikian diperoleh pula jejaknya pada relief cerita "Parthayajna" di teras II Candi Jagaghu, yang menggambarkan mengenai asrama para pertapa wanita (tapasi, tapini, atau kili) yang bertrmoat di dalam hutan (wana) di lereng Indrakila. Dikisahkan bahwa Partha (nama muda Arjuna) beserta dua orang punakawannya sempat singgah dan bermalam di wanasrama itu ketika dalam perjalannya ke lerang atas Indrakila untuk bertapa. Boleh jadi, wanasrama semacam ini konon juga pernah terda-pat di lereng gunung suci Semeru. 

Gambaran puncak Semeru didapati pula pada relief Candi Jajaghu, yaitu di dalam relief cerita "Kunjarakarna'. Relief berlatar agama Buddha Mahayana yang dipahatkan pada teras I dan bersambung ke pelipit bawah teras II ini antara lain memuat gambaran tentang persimpangan jalan yang dihadap oleh Kunjarakarna. Salah satu percabangnya berupa jalan yang berkelok, kecil dan menanjak, yang boleh jadi menggam- barkan jalan setapak menuju ke bagian puncak Mahameru, sebagai jalan menuju ke "Nirwana". Adapun cabang jalan satunya, yang lempeng, datar dan besar, justru jalan menuju ke "Naraka (kini disebut "neraka"). Terkait dengan gambar- an mengenai naraka, di dalam naraka terdapat apa yang disebut "candragihmukha (bahasa Jawa Baru "Condridimuko"), yaitu kawah (jedi) tempat merebus atau menyiksa orang-orang yang berdosa. Bentuk kawah itu menyerupai bulan sabit (candra), yang ditempatkan pada punggung lembu (goh), sehingga dinamakan "cadragohmu- kha". Bisa jadi candragihmukha itu menggambarkan secara simbolik kawah (kaldera) pada puncak Semeru, yang kini lazim disebut kawah "Jonggring Saloko".

Relief yang menggambarkan jalan menuju ke puncak Mahameru itu menunjukkan bahwa konon pada masa Hindu-Buddha terdapat laku (yatra) menuju ke arah puncak gunung suci. Perjalanan suci demikian mengingatkan pada kisah para Pandawa dan Draupadi (Sailundri) tatkala menunju ke puncak Mahameru untuk mencapai Nirwana atau Swarga, sebagaimana termaktub dalam "Swagorohanaparwa", yakni parwa ke-18 (terakhir) wiracarita Mahabharata. Menurut M.M. Soejarto K. Atmojo (1986) ke- rangan dalam beberapa prasasti dari Dusun Munggir Desa Pasrujambe menyiratkan adanya tradisi perjalanan suci ke puncak Mahameru. Perjalanan menuju puncak Semeru tergambar pula pada prasasti Ranu Gumbolo (1182 M.) mengenai yatra (peranan suci) untuk mencari air suci (tirtha) "Ling Deva (?) Pu Kameswara Tirthayatra" -- air pada telaga (ranu) Gumbolo dikonsepsi sebagai "tirtha", seperti tercermin pada perkataan "tirthayatra". Boleh jadi, Ranu Gumbolo maupun Arcopodo merupskan satra (singgahan) dari para pelaku yatra yang menu- ju ke puncak Mahameru. 

Jika benar sebagaimana dipaparkan di alinea di atas, relief Candi Jago memuat gambaran tersirat mengenai Semeru sebagai gunung berapi. Penggambaran yang demikian bisa difahami mengingat Candi Jago berada pada lembah Semeru dan berorientasi (mengkiblat) ke puncak gunung suci ini. Sebagai bangunan suci pendhaman bagi arwah raja Singhasari Wisnuwardhana (Sminingrat), relief pada Candi Jhajago turut menggambarkan kesucian dari Mahameru, sebagai gunung sucinya Kerajaan Singhasari. Ada keyakinan bahwa Dewata yang bersemayam di puncak Gunung Semeru adalah Pasupati (Pasupata) yakni selah satu sebutan untuk Dewa Siwa. Dalam Teks-teks “Purana” India, yang tergolong sebagai kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda), dinyatakan bahwa Dewata bersemayam di puncak Meru (Mahameru,), yang dikenal juga dengan nama "Gunung Kailasa" atau "Gunung Himawan".

Gunung Api Mahameru Njebluk Lagi

Tidak lama setelah Merapi perlihatkan aktifitas vulkaniknya pada tanggal 8-23 November 2020, menyusul pada 1 Desember 2020 Semeru pun meletus (njebluk). Sebenarnya, Merapi ataupun Semeru beberapa kali di tahun 2020 perlihat- kan aktifitas vulkamiknya. Pada 21 Juni 2020 Merapi alami erupsi. Ini adalah erupsinya yang ke-10 sepanjang tahun 2020. Erupsi yang lebih berikutnya terjadi Minggu 8 November 2020 sekitar pukul 12.50 WIB, yang ditandai guguran awan psnas dengan jarak luncur 3000 m ke arah barat. Guguran berlanjut sampai tanggal 9 November 2020, bahkan hingga 23 November 2020, yang ditandai oleh kegempaan. Aktivitas kegempaan Semeru itu menimbulkan guguran tebing lava lama di kawah utara. Material gu- guran jatuh ke dalam kawah.

Aktivitas Semeru terpantau normal hingga Senin (30/11/2020) pukul 23.55 WIB. Namun, mulai pukul 01.23 WIB berlangsung luncuran lava pijar menyerupai awan panas. Pada pukul 01.45 aktivitas vykaniknya meningkat secara signifikan hingga akhirnya keluarkan letupan berkali-kali sampai pukul 04.33 WIB. Selama hampir tiga jam terjadi guguran awan panas hingga sejauh 11 km. mencapai Curah (Besuk Kobokan). Dimulai pukul 04.33 wib, aktivitas Semeru mengalami penurunan. Namun, pada besok harinya (2 Desember 2020), kembali lah Semeru meletus, yang diikuti oleh runtuhnya kubah lava, sehingga mengakibatkan guguran awan panas menuju lembah sebelah selatan. Aktivitas vulkanik dari Semeru pada saat ini terdapat di Kawah Jonggring Seloko yang ter- letak di sebelah tenggara puncak Mahameru. Kawah tersebut terbentuk sejak tahun 1913. Penghancuran kubah (lidah lava) mengakibat- kan guguran awan panas, yang merupakan karakteristik Gunung Semeru.

Sebenarnya, letusan ini bukan kali pertama di tahun 2020. Semeru telah mengalami erupsi sebanyak 7 kali di tahun 2020. Erupsi yang pertama terjadi pada 17 Januari 2020, lantas terjadi lagi tanggal 20 Januari 2020. Setelah tertidur hingga beberapa bulan, kini kembali Semeru meletus pada Sabtu, 11 April 2020 pagi. Dua letusan terdahulu itu tak separah yang terjadi pada tanggal 1 dan 2 Desember 2020. Hujan abu melanda pemukiman warga. Sebelum hujan abu terjadi pada sekitar pukul 02.00, terdengarlah suara letusan Semeru. Ada dua kecamatan di Lumajang yang terdampak awan panas, yaitu Pronojiwo dan Candipuro. Seluruh warga dari dua kecamatan itu dieva- kusi ke lapangan Kamar Kajang, Candipuro.

Semoga murga Sang Hyang Mahameru segera mereda, dan warga kembali bisa melakukan aktifitas kesehariannya dengan aman. Letusan Semeru yang tepat bersamaan dengan wabah Civid-19 kian menambah beban derita warga. Stabil- nya Gunung Nahaneru sebagai "pasak" nya Jawadwipa adalah stabilitas Tanah Jawi. Maka, "lerem ....lerem .., lerem lah Sang Hyang Mahameru dari ugramu. Nir ing sabekolo". Nuwun. 
 
Oleh M. Dwi Cahyono
Sangkaling, 3 Desember 2020 : Griyajar CITRAKEKHA 
https://web.facebook.com/100000789717233/posts/3519461818090107/?_rdc=1&_rdr
 
 

Berita Terkait