Organisasi dan Aktivitas Organisasi Jetis

Yayasan: Yayasan Waris ini terletak di  RW 03 RT 04 kampung Jetis. Sebelumnya kami salah paham dengan kata “Waris”. Awalnya kami berpikir Jetis Waris adalah yayasan yang mengurusi tentang masalah warisan. Setelah bertemu bapak Hamdi selaku ketua dari yayasan ini, kami mengetahui dari keterangan yang diberikan oleh bapak Hamdi bahwa kata “Waris” merupakan singkatan dari Warga Islam Kampung Jetis yang didirikan oleh (alm) H. Hasan Basri pada tanggal 19 November 1993. Meskipun yayasan ini secara hukum belum sah karena tidak ada surat keterangan Menteri Kehakiman dan HAM namun yayasan ini bersifat resmi. Yayasan Waris Jetis bergerak di bidang sosial secara independen.

Setelah (alm) H. Hasan Basri wafat, jabatan ketua Yayasan Waris Jetis digantikan oleh H. Khamdi sampai sekarang. Sedangkan pengurus yang lain adalah pengurus dari takmir masjid Al Uswah. Sumber dana yang masuk ke Yayasan Waris Jetis berasal dari umat dan akan kembali lagi ke umat, umat Islam khususnya.Waris Jetis sekarang membiayai sekolah siswa dan siswa yang banyaknya sekitar 10 orang. Siswa siswi tersebut berusaha sendiri dalam mencari donatur-donatur untuk membiayai uang sekolah mereka. Selain dari umat Islam, dulu sumber dana yang masuk ke Yayasan Waris Jetis berasal dari warga Jetis yang sukses di luar Jetis. Namun, sekarang ditiadakan, jadi sekarang sistem pencarian dananya adalah dengan mencari warga Jetis yang sukses dan beragama Islam kemudian dikirimi surat permohonan bantuan dan proses pencarian bantuan tersebut dicari oleh pihak pihak yang mendapat bantuan sendiri.

Yayasan Waris Jetis juga membantu dalam peminjaman uang dengan bunga 0% dan tidak ditentukan jangka waktu pengembaliannya. Sumber dana yang masuk ke Yayasan Waris Jetis selain digunakan untuk membiayai anak-anak sekolah, peminjaman kepada umat-umat lain yang membutuhkan, juga digunakan untuk membeli peralatan, membeli tanah yang akan menjadi aset dari kampung Jetis sendiri. Tanah yang telah dibeli tadi, sekarang dalam proses pembangunan PAUD, dan penitipan anak. Sekarang Kampung Jetis menjadi kampung teladan atau kampung percontohan dengan kondisi agama Islam yang kondusif dengan populasi haji terbanyak dan tertinggi dimana IPHI di kampung Jetis dengan anggota kurang lebih sebanyak 60 orang.

 

FKAM : Ketika berjalan menyusuri gang-gang kampung secara tidak sengaja kami melihat sebuah rumah yang bertuliskan POS FKPM di bagian depan rumah. Hal itu menarik perhatian kami, di lain kesempatan kemudian kami mengunjungi rumah ini. Kami bertemu dengan bapak Wagimin selaku pemiliki rumah sekaligus ketua dari FKPM ini. Dari obrolan santai kami dengan bapak Wagimin yang berlangsung di sore yang cerah, kami mendapat keerangan bahwa FKPM merupakan singkatan dari Forum Kemitraan Polisi masyarakat. “FKPM bukanlah polisi melainkan mitra sejajar, yang dibentuk untuk dapat berperan aktif membantu tugas kepolisian,” begitu kata pak Wagimin.

Kampung Jetis terletak di kelurahan Kadipiro yang merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan Banjarsari. Dengan daerah yang sangat luas tidak mungkin lurah dan perangkatnya bekerja sendiri. Di sinilah dibutuhkan kerjasama yang baik dengan berbagai pihak, salah satunya menjalin hubungan dengan FKPM.  Dan untuk FKPM di kampung Jetis sendiri sudah berdiri sejak tahun 1993. Sejak tahun 1993 hingga sekarang eksistensi dari FKPM ini masih terjaga dengan baik. Untuk saat ini FKPM di kampung Jetis khususnya RW 3 dipimpin oleh bapak Wagimin yang menjabat sebagai ketua.

“Tugas-tugas FKPM sendiri adalah menciptakan kondisi keamanan, ketertiban dan berbagai masalah yang ada di wilayah Kadipiro lebih khususnya kampung Jetis RW 3, kasus-kasus kecil seperti KDRT, narkoba, dan pencurian di bawah umur tidak harus dilaporkan ke polisi, karena dengan adanya FKPM masalah kecil yang terjadi di kampung Jetis setidaknya dapat diseleseikan dengan musyawarah dan kekeluargaan tetapi juga diberikan Surat Keputusan Bersama (SKB),” begitu keterangan yang kami dengar dari bapak Wagimin.

Sudah ada beberapa kasus yang telah kami selesaikan di sini secara kekeluargaan dan jalan musyawarah, seperti dulu pernah ada kasus pencurian yang dilakukan oleh anak yang masih di bawah umur, ada juga kasus KDRT, dan semua selesai dengan jalan damai tanpa harus berurusan dengan polisi. Dan sejauh ini kampung kami aman-aman saja,” ujar bapak Wagimin.

Tujuan FKPM juga untuk sosial kampung., seperti mengawal kematian, pengamanan pernikahan atau resepsi, dan pengawalan hari besar seperti acara-acara keagamaan. FKPM di kampung Jetis ditunjuk langsung dari kepolisian untuk menjadi mitra sejajar yang bertugas mengamankan wilayah sekitar, dan di setiap RW memiliki FKPM. FKPM tersendiri dibiayai oleh PNPM mandiri dari kelurahan.  Anggota FKPM di Jetis terdapat 14 anggota yang di setiap RT ditunjuk 2 anggota oleh ketua RTnya sendiri, yang menurut RT anggota itu dapat dipercaya.  Pertemuan FKPM biasanya diadakan setiap 3 bulan sekali di salah satu rumah warga, biasanya dari polsek juga hadir untuk memberikan pengarahan agar dapat bekerja dengan baik menjalankan tugasnya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan di kampung Jetis.  Dengan adanya FKPM di kampung Jetis stabilitas keamanan di kampung Jetis sendiri terbilang aman, dan juga karena adanya kesadaran dari warganya untuk menjaga stabilitas keamanan di kampung mereka.

Bicara soal prestasi, FKPM di Kadipiro pernah mendapatkan juara pertama lomba simulasi penanganan kasus se-Jawa Tengah yang diadakan oleh polda. Hal ini tidak lepas dari baiknya kinerja FKPM di kampung Jetis untuk menjaga keamanan di wilayah sekitar sehingga mendapatkan juara satu penanganan kasus.

 


 

Gethuk Lindri : Salah satu usaha kuliner yang ditekuni oleh warga Jetis adalah usaha pembuatan gethuk lindri. Gethuk lindri merupakan makanan tradisional yang sampai sekarang masih diminati masyarakat. Usaha pembuatan gethuk lindri di Kampung Jetis RT 05 RW 03 dirintis oleh Bapak Tugino beserta isterinya. Beliau berjualan gethuk lindri sebelum tahun 1986. Setiap hari beliau dibantu keluarganya dapat membuat 10 kg klepon, 20 kg gethuk, 5 kg cenil dan 5 kg ketan hitam.

Sayangnya pada waktu-waktu tertentu produksi gethuk harus dikurangi karena pada musim tertentu singkong (bahan utama gethuk) susah didapatkan. Dalam proses memasaknya Pak Tugino masih menggunakan alat pemanas tradisional yakni tungku. Cara ini dilakukan sebab tungku dapat digunakan untuk memasak makanan dalam porsi yang cukup besar. Setiap harinya Pak Tugino menjual gethuk lindri di depan Luwes Gading. Tapi, terkadang jika ada bazar-bazar di kampung, Pak Tugino dibantu 2 orang pegawainya juga menjual gethuk lindri si arena bazar.

Sapu Rayung : Selain itu, kampung Jetis, tepatnya di RT 05 RW 03 terdapat usaha pembuatan sapu rayung. Usaha ini ditekuni oleh Ibu Handani dan keluarganya. Saat ini beliau hanya memiliki 3 orang pegawai. Ibu Handani dan keluarganya sudah menekuni usaha ini sejak tahun 1990an, akan tetapi tempat produksinya berpindah-pindah dan baru sekitar tahun 2000an produksi sapu rayung bertempat di Jetis. Bahan baku sapu rayung yang berupa kembang glagah didatangkan dari Purbalingga, sedangkan penjalin berasal dari daerah Gawok. Kini rata-rata tiap pegawai mampu membuat sekitar 40 buah sapu per harinya. Untuk sistem pembayaran pegawai dilakukan secara borongan, jadi semakin banyak mereka membuat sapu, semakin banyak juga bayarannya. Sebenarnya usaha ini cukup potensial untuk menyerap tenaga kerja, sayangnya dari hari ke hari semakin sedikit saja orang yang berminat menekuni usaha ini. Hal ini terjadi karena untuk membuat sapu rayung diperlukan keuletan yang lebih. Sampai saat ini sudah ada sekitar 24 orang mantan pegawai Bu Handani yang mendirikan usaha pembuatan sapu rayung secara mandiri. Untuk pemasarannya, sapu rayung ini biasa diambil oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Surakarta dan sekitarnya. Dulunya sapu rayung ini memiliki merek paten “LINA”, tapi sekarang merek itu sudah tidak digunakan lagi, karena pedagang yang mengambil sapu biasanya memberi merek sendiri-sendiri.

Timbangan : Timbangan punya nilai penting bagi Mardiyatno, laki-laki berusia 40 tahun ini telah berhasil mengubah mindset masyarakat bahwa kesuksesan adalah milik mereka yang berpendidikan tinggi. Bapak tiga orang anak ini benar-benar beruntung, ia hanya lulusan sekolah dasar (SD), keputusannya menekuni bisnis membuat timbangan telah mengubah hidupnya. Kini, ia telah menjadi seorang pengusaha sukses dengan omset puluhan juta rupiah per bulannya. Namun, sebelum sukses menjadi seorang pengusaha timbangan yang  memiliki merek sendiri, pak Mardiyatno pernah mengalami lika-liku hidup yang tidak mudah, termasuk menjadi kuli tenaga di industri timbangan milik orang lain.

Menjadi pengusaha sukses adalah impian banyak orang, namun tidak banyak orang yang berani berspekulasi dan mengambil resiko untuk berusaha mencapainya tanpa modal awal yang memadai. Sebagian besar orang beranggapan, bahwa untuk menjadi pengusaha yang sukses seseorang harus memiliki modal yang besar. Tetapi anggapan itu tidak berlaku bagi pak Yatno,  sapaan akrab laki-laki bertubuh kekar ini. Bagi pak Yatno, modal yang paling penting adalah kemauan dan keberanian, berani berspekulasi, berani mengambil resiko, berani nekat. Kedengarannya memang klise tapi pak Yatno berhasil membuktikannya dan itulah yang membuatnya berhasil menjadi pengusaha timbangan sukses yang telah memiliki merek sendiri. Ia telah mematahkan anggapan tanpa modal yang besar seseorang tidak bisa memulai usaha yang besar.

Lelaki berusia 40 tahun ini bahkan tidak memiliki ijazah SMP, hanya lulusan SD. Tapi, kini  telah menjadi pengusaha sukses yang bisa me-manage bisnis, melakukan strategi pemasaran, dan menggaji karyawan-karyawannya. Dulunya pak Yatno memang hanya bekerja sebagai kuli tenaga namun kini telah menjadi juragan timbangan yang cukup besar di Kampung Jetis, bahkan pemasaran produknya hingga ke luar pulau. Sejumlah toko di kota Surakarta dan Palembang tercatat sebagai pelanggan tetap pak Yatno. Pak Yatno juga memiliki 2 cabang industri timabangan yang tersebar di kota Surakarta. Menurut pak Yatno, semua kesuksesan itu adalah buah kerja keras dan keberuntungan.

Pak Yatno mengenal usaha timbangan sejak tahun 80-an, waktu itu hanya sebagai kuli tenogo yang bekerja di industri timbangan milik orang lain. Kemudia mulai pada tahun 1994 bisa berdiri sendiri. Berdiri sendiri dalam artian mempunyai merek sendiri yaitu yang diberi nama Swadaya. Ide usaha timbangan ini sendiri munculnya dari lingkungan dan keluarga, kakak-kakak beliau memiliki usaha timbangan jadi pak Yatno pun mengikuti jejak keluarganya yang jadi seperti turun menurun. Dulu ada sebuah perusahaan timbangan dimana pak Yatno bekerja di sana. Dia mengambil bahan setengah jadi dari timbangan yang kemudian dibawa pulang ke rumah dan dikerjakan dirumah. Dalam pengerjaan timbangan, pak Yatno memperkerjakan beberapa kuli tenaga yang membantu merakit timbangan. Hal itu berlangsung selama 14 tahun.

Pada Agustus 1994 pak Yatno mulai berdiri sendiri dengan mereknya sendiri yang dinamkan Swadaya, sehingga mulai dari bahan, modal, pembuangan dia urus sendiri. Hal itu dirasakan berbeda ketika ia masih bekerja dengan orang lain atau masih bergantung kepada juragan. Saat ini pak Yatno memiliki 9 karyawan yang bekerja di industri timbangan di kampung Jetis, sementara di luar kampung Jetis ia memiliki 2 cabang dari usahanya tersebut. Untuk pegawai yang ada di kampung Jetis ini sendiri rata-rata berasal dari luar kampung, bukan warga dari kampung Jetis.

Untuk pemasaranya rata-rata timbangan ini dipasarkan di pulau Jawa dan sebagian lagi di kota Palembang. Adapun jenis timbangan di sini ada 2 macam, yaitu jenis timbangan basil dengan kekuatan 150,300 sampai 500 Kg dan jenis timbangan meja dengan kekuatan 10 sampai 25 Kg. Untuk timbangan meja rata-rata per minggu mampu memproduksi 80 unit dan timbangan basil rata-rata 25 unit per minggu. Jadi dalam sebulan industri timbangan yang dikelola pak Yatno ini mampu memproduksi 320 unit timbangan meja dan dan 100 unit timbangan basil.

Selama kurun waktu 14 tahun dari tahun 80an hingga 94 pak Yatno mengaku dinamika perkembangan usaha tidak stabil karena untuk timbangan ini tidak bisa diprediksi tiap bulannya atau tiap tahunnya. Meskipun demikian, produksi selalu terus dilakukan secara berkesinambungan sehingga tidak memiliki stok barang jadi yang disimpan di dalam gudang. Tidak terlalu banyak kendala lain yang menyangkut dengan persediaan barang mentah seperti cor logam, besi, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi terjadinya keterlambatan kedatangan bahan mentah pak Yatno selalu memberikan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak yang bersangkutan atau pelanggan agar tidak hilang kepercayaan. Lantaran selalu menjaga kepercayaan pemesan pak Yatno senantiasa memiliki pelanggan yang setia.

Seperti warga kampung pada umumnya pak Yatno merupakan sosok yang sederhana. Dulu ia hidup pas-pasan, namun dengan modal kemauan dan kerja keras ia mampu mengubah jalan hidupnya. Industri timbangan yang terdapat di kampung Jetis ini tergolong industri yang cukup besar. Sejumlah toko di pulau Jawa dan Palembang tercatat sebagai pelanggannya. Hal ini membuktikan bahwa tidak semua waga kampung itu tidak bisa maju dan sukses. Menurut pak Yatno semua kesuksesan itu merupakan buah kerja keras dan keberuntungan, bukan berhubungan dengan darimana seseorang itu berasal.

Hidup itu pilihan, jika kita memilih jalan untuk sukses,
maka kesuksesan akan menghampiri kita, demikian sebaliknya,

begitu ujar pak Yatno.

Bagian II :
Nisa Hansyah A. Patrani Victoriya, Tendra Istanabi, Fimalanda Afriliasari,       
A. Nimas Kesuma N.
, Nabella Sefina, Hari Sandita Anggi

Berita Terkait