Masyarakat dan Kebudayaan Indisch di Surakarta 1871-1940

Masyarakat Indisch Surakarta (selanjutnya disebut masyarakat Surakarta) pada paruh kedua abad XIX hingga paruh pertama abad XX merupakan bentuk masyarakat majemuk yang muncul sebagai produk kultural dan politik dari praktik kolonialisme abad XIX dan awal abad XX di Indonesia. Bentuk masyarakat ini didukung terutama oleh kalangan elite, yang berasal dari berbagai etnis mulai dari pribumi Jawa, Eropa, Indo, dan bahkan Timur Asing, terutama Cina dan Arab. Konstruksi ini merupakan bentuk masyarakat sebagaimana dibayangkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Indische Partij, yaitu masyarakat berupa ikatan sosio-kultural dari berbagai penduduk di Hindia (de heterogene bevolking). Dalam perkembangan yang khas di Surakarta pada abad XIX dan abad XX itu, bentuk masyarakat Surakarta bukanlah masyarakat campuran ras semacam Indo, masyarakat Jawa, serta bukan pula sebagai bentuk masyarakat kolonial yang melahirkan kontradiksi sosial karena perbedaan ras.
 
Pada kurun waktu 1871-1940, masyarakat Surakarta mengalami perubahan yang berlangsung dalam tiga tahap. Pada tahap awal ditandai dengan lahirnya kultur ekspresif. Tahap ini berlangsung sejak 1871 hingga 1904. Kultur ini berkembang sebagai akibat dari munculnya kelompok-kelompok kekuatan ekonomi kota yang mempunyai potensi waktu luang, serta kedatangan para penyewa tanah Eropa yang berperan penting dalam perkembangan kota. Perkembangan itu semakin nyata sejak munculnya dukungan berupa fasilitas kota seperti, pertokoan, hotel, bank, pos, telepon, dan telegraf, listrik; juga sarana transportasi kota seperti trem, dan kereta api, serta berbagai fasilitas hiburan berupa, taman kota, dan bioskop. Sejak saat itu masyarakat Surakarta berkembang menjadi masyarakat gaya hidup. Simbol gaya hidup penting di era itu adalah berupa busana Beskap Langenharjan yang menggambarkan bentuk kemajemukan budaya. Karakter diversitas budaya Surakarta semakin kuat ketika beragam tampilan gaya hidup baru di kota berkembang seperti bidang arsitektur, taman kota, aktivitas berburu, seni pertunjukan wayang wong, aktivitas pesta dan seni di societeit, upacara tradisional gerebeg, peringatan ulang tahun kelompok elite istana, serta hari ratu Belanda atau koninginnedag.

Tahap berikutnya adalah munculnya kanonisasi budaya. Tahap ini berlangsung pada 1904-1920. Ciri dari perkembangan tahap ini adalah besarnya arus kedatangan para imigran Belanda ke Surakarta dengan prosentase tinggi dari kaum wanita. Sejak itu kultur Surakarta berkembang dalam bentuk hubungan yang berat sebelah berupa nuansa kolonial Belanda. Praktik itu terjadi melalui proses totokisasi dalam bentuk standar bahasa Belanda, bahasa Melayu, hukum, serta lembaga pengadilan. Proses itu kemudian menciptakan politik identitas yang sifatnya diskriminatif terutama bagi kalangan elite pribumi Jawa. Saat itulah sifat masyarakat dan budaya Surakarta yang sebelumnya heterogen berubah menjadi semakin bersifat homogen dan tampak semakin kaku.

Bentuk baru kultur semacam ini ternyata tidak mudah diterima oleh sebagian pendukung masyarakat Surakarta lama terutama dari unsur Indo dan Jawa. Bagi mereka kanonisasi telah dianggap menghilangkan identitas mereka. Timbullah kemudian resistensi terhadap kebijakan pemerintah dalam bentuk gerakan Insulinde dan Nasionalisme Jawa. Gerakan ini sangat elitis sifatnya. Oleh karena itu dapat dikatakan gerakan mereka merupakan bentuk gaya hidup baru untuk memperoleh identitas mereka kembali. Gerakan Insulinde yang merupakan representasi kelompok Indo di Surakarta paling keras melakukan perlawanan melalui kepemimpinan Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dezentje, serta Marie Vogel. Oleh karena dalam budaya kanonikal posisi Indo yang merupakan etnis campuran seolah menjadi tidak relevan lagi, itulah sebabnya visi mereka menekankan perlunya suatu kemerdekaan penuh, serta penyatuan masyarakat majemuk dari berbagai pulau atau insulinde.

Dalam perkembangannya gerakan Insulinde dapat dikatakan sangat membahayakan bukan saja bagi Pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga para elite penguasa pribumi di Surakarta, terutama Susuhunan Paku Buwana X dan Pangeran Adipati Mangkunegara VII. Ide Douwes Dekker yang menjadikan eksploitasi di Polanharjo dan Tegalgondo sebagai representasi bentuk eksploitasi kolonial telah menjadikan Surakarta sebagai poros konflik di Hindia Belanda. Namun pada sisi lain Gerakan Insulinde juga berupaya menghapus kekuasaan feodal di Surakarta. Selanjutnya karena kurangnya persiapan, terlalu kaku, serta terlalu merendahkan etnis Jawa, maka gerakan ini kurang memperoleh simpati dari komunitas lain di Surakarta. Gerakan Insulinde berakhir dalam peristiwa Solo Bergoyang pada 29 Mei 1920.

Peristiwa Solo Bergoyang telah mengubah bentuk masyarakat Surakarta. Oleh karena pemerintah kolonial sangat tidak menaruh simpati pada gerakan radikal, maka berpalinglah mereka kepada Vorstenlanden. Sejak saat itu di Surakarta berkembang tahap kembalinya bentuk ikatan lama khususnya antara kaum Eropa dan kaum elite Jawa. Tahap ini berlangsung mulai 1920 hingga 1940. Selain itu dalam kondisi ekonomi yang sedang mengalami krisis pasca Perang Dunia I yang berdampak besar pada Surakarta, maka pemerintah kolonial tidak mempunyai pilihan kecuali mengandalkan elite pribumi di Surakarta dalam menjaga tata pemerintahan lokal. Dalam proses ini kemudian sangat menonjol bentuk simbolis ikatan bersama berupa peringatan koninginnedag yang diberi nama Jubileumfeesten Soerakarta pada 1923.
 
Selanjutnya tanpa ragu-ragu pemerintah kolonial bahkan mendukung gerakan Nasionalisme Jawa dalam bentuk pelaksanaan Kongres Kebudayaan Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Mangkunegara VII dan R.M. Sutatmo Suryokusumo. Pada 1930, munculnya malaise yang mengguncang Hindia Belanda semakin mengkhawatirkan juga bagi para penyewa tanah di Surakarta. Posisi mereka sangat tergantung pada elite istana di Surakarta. Sejak itu dukungan terhadap budaya Jawa semakin kuat. Mulailah kemudian merebak dukungan dari kaum Eropa terhadap simbol Jawa seperti terwujud dalam pembuatan Gapura Gladhag, pesta ulang tahun raja, serta pembuatan ilustrasi wayang pada mata uang kertas yang dicetak oleh De Javasche Bank. Pada periode ini tampak sekali adanya proses kembalinya tradisi Jawa lama dalam bentuknya yang baru. Selanjutnya sejak identitas kultural komunitas pribumi telah dicapai, pada akhirnya eksistensi masyarakat Surakarta dipertegas melalui pengakuan Ratu Belanda dalam bentuk munculnya Zelfbestuursregelen pada 1940. Sejak saat itu pula Surakarta semakin tampak sebagai bentuk tatanan sosio-kultural baru yang bersifat majemuk dengan identitas budaya Jawa Surakarta yang menonjol.


Dr. Susanto-FIB UNS
Makalah Diskusi Balai Soedjatmoko

 

Berita Terkait