Macam2 Rasa @ Kratonan

Bahasa yang biasa digunakan warga kampung Kratonan adalah bahasa Indonesia tapi ada juga yang ngobrol santai pakai bahasa Jawa. Di kampung Kratonan ini ada budaya-budaya tertentu, misalnya penyerahan piagam saat pelantikan ketua RT, namun sudah kurun waktu dua periode ini tradisi itu sudah luntur. Selain itu ada juga tradisi-tradisi yang dikenal mistik, yaitu ‘sumarah’ atau pemujaan bisa juga dikenal dengan ilmu kebatinan yang biasa dilakukan di rumah salah seorang warga tapi sekarang yang memimpin ritual itu adalah anaknya karena ayahnya sudah meninggal. Ritual tersebut sudah berjalan sejak tahun 1960-an sampai sekarang yang dilakukan tiap Kamis malam. Ritual tersebut dilakukan secara tertutup jadi tidak sembarang orang bisa melihatnya. Ritual itu juga diikuti oleh beberapa warga asing. Yang melakukan pun dari berbagai kalangan ada dari Islam, Hindu, Kristen. Saat malam satu Sura yang datang pasti akan lebih banyak bisa mencapai 300-an orang.

Selain itu pula di kampung Kratonan ini masih rajin mengadakan kegiatan tahlilan kalau ada warga yang meninggal. Ada pula tradisi jika ada seseorang yang sakit warga berbondong-bondong untuk menjenguk warga yang sakit itu. Saat Idul fitri pun warga di kampung Kratonan ini mengadakan sungkeman antarwarga. Saat Idul adha kegiatan mbeleh atau motong kambing dan sapi masih rutin dilakukan tiap tahun.

Selain itu ada sinoman yang sayangnya tradisi sinoman pada saat ada hajatan di sini sudah pudar karena warga sudah banyak menggunakan pola catering yang lebih praktis. Selain itu juga sayang sekali di kampung Kratonan ini tidak memiliki kesenian-kesenian tradisional yang khas. Tetapi jangan khawatir, ada oleh-oleh yang lezat namanya Srabi Notosuman. Jadi kalau berkunjung ke sini jangan lupa mampir di Toko Srabi Notosuman yang terkenal itu. Keunikan dari Kratonan yang terkenal sampai seantero Surakarta bahkan keluar kota adalah Serabi Notosuman. Makanan ini menjadi favorit jajanan para pelancong yang datang ke Surakarta. Karena rasanya yang gurih teksturnya yang lembut dan dengan harga yang terjangkau Serabi Notosuman ini banyak diminati masyarakat. Di kawasan Kratonan ini banyak dijumpai usaha Serabi Notosuman dan sekarang dengan lebih banyak variasi baik rasa maupun tampilan kemasan.

Kratonan memang sudah tidak memiliki lahan sebagai lahan pertanian, karena sebagian besar sudah dipenuhi dengan bangunan permanen berupa rumah, toko, jalan, dan bangunan lainnya. Tetapi hal ini tidak menyurutkan warga Kratonan untuk mengembangkan usahanya, sejak dahulu, masyarakat Kratonan sudah berkecimpung di dunia perdagangan dan wirausaha.

Dari dulu orang Kratonan itu kerjanya jadi pedagang, ke pasar, dan berjualan keliling. Kalau sekarang sama saja di bidang wurausaha hanya saja sekarang lebih berkembang jadi home industry”, begitu kata Bu Suyamto yang kami temui sore hari.

Dia menceritakan tentang profesi masyarakat Kratonan yang merupakan hasil masyarakat Kratonan untuk meningkat pendapatannya. Hingga saat ini hasil masyarakat Kratonan dapat terlihat dari bukti fisik bangunan dan rumah mereka yang megah.

Beberapa usaha yang ditekuni masyarakat Kratonan antara lain adalah batik, serabi notosuman, art galery, toko-toko kue, dealer motor dan bengkel motor yang terlihat berjejer di sepanjang jalan di bagian luar Kratonan. Selain ramai karena sektor industri makanan yaitu Srabi Notosuman, Kratonan memiliki sisi keramahan suasana wedangan  yang di Surakarta ini cukup terkenal sejak dulu. Di kampung Kratonan ada warung yang biasa buka di sore hari warung ini biasa warga sebut dengan nama hik, dekat SD. Banyak warga setiap sore nongkrong di sini sembari ngobrol. Bahasa yang digunakan di sini kebanyakan memakai bahasa Jawa. Tapi ada juga kadang yang memakai bahasa Indonesia. Karena warung hik ini di perempatan dekat SD dan dekat pos kampling tidak heran kalau banyak warga berlalu lalang mampir di sini setiap sore hari. Banyak warga Kratonan yang nongkrong di sini sambil duduk-duduk di ‘bok’ atau tempat duduk. Warung hik ini tutup sekitar jam 8 malam ke atas.

Kalau kita di kampung Kratonan di pinggiran jalan Yos Sudarso, RT.02 RW.02, juga ada wedangan bernama Wedangan Kratonan, milik Bang Wihadi warga asli Kratonan. Usaha wedangan ini dimulai sekitar 3 tahun yang lalu. Wedangan ini buka setiap hari yang persiapannya mulai jam 3 sore dengan dibantu dua pegawainya. Biasanya wedangan ini ramai antara habis maghrib jam 6 sore sampai jam 9 malam. Banyak orang kantoran yang kalau sore hari mampir minum dan makan di sini. Tapi  biasanya jam 9 malam ke atas agak sepi. Wedangan Kratonan milik Bing wihadi ini tutup jam 12 malam.

Ada yang khas kalau makan di sini, ada nasi bakar ikan pindang, ada sate kerang, banyak macam-macamnya, harganya juga sangat ekonomis. Jadi jangan khawatir kantong bolong kalau mampir makan di sini sembari nongkrong-nongkrong nikmati suasana malam di pingggiran Kratonan. Selain membuka usaha warung Wedangan Kratonan ini Om Bing juga menjadi agen Sari Roti untuk menambah omsetnya, yang biasa dipajang di depan wedangannya, di pinggir jalan. Di jalan Yos Sudarso ini juga kalau malam satu suro dilewati kirab kebo Kyai Slamet. Kalau siang di daerah sini menjadi sentra-sentra bisnis. Di sepanjang jalan ada toko-toko motor/dealer motor, bengkel-bengkel atau aksesoris motor/mobil. Kalau mau kuliner banyak juga di Katonan ini yang terkenal seperti Papa Ronz Pizza, mie Surabaya, ayam  goreng Popeye. kalau buat oleh-oleh ada Srabi Notosuman, Toko Roti Prestasi. Beberapa toko yang terkenal di daerah Kratonan ini antara lain karena mereka berdiri sudah cukup lama dan memiliki pelanggan setia dari sejak dulu. Dia antaranya:

Serabi: Serabi merupakan salah satu jajanan khas dari Surakarta. Jajanan ini terkenal hingga ke luar Kota Surakarta. Dan salah satu penjual serabi yang terkenal di Kota Surakarta adalah Ny. Handayani dengan toko yang ia beri nama Serabi Notosuman. Serabi Notosuman ini berdiri sejak 1923 oleh Hoo Gek Hok. Dan Ny Handayani ini merupakan generasi ketiga. Bisnis keluarga ini secara turun-temurun selalu menjaga kualitas serabinya hingga dapat bertahan selama 89 tahun.

Kunci kelezatan Serabi Notosuman ini terletak pada adonan santan yang secara khusus hanya bisa dibuat oleh pemilik toko Serabi Notosuman ini. Dan rahasia dapur inilah yang membedakan keenakan Serabi Notosuman dengan serabi lainnya yang dijual di seluruh Surakarta.

Selain itu serabi ini telah terjamin kehalalannya karena telah dilengkapi sertifikat halal oleh MUI.

Saya bertanggung jawab dengan bahan-bahan dan kualitas serabi ini, sehingga langkah sertifikasi halal penting. Dengan itu saya tidak hanya bertanggungjawab pada konsumen, tetapi juga pada Tuhan,“ kata Ny. Handayani.

Maka tak heran toko yang buka sejak jam 3 pagi ini selalu dibanjiri pengunjung, mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, wisatawan, hingga para pejabat.

Sebenarnya Serabi Notosuman itu letaknya di wilayah kampung Kratonan, tapi sangat berdekatan dengan Rumah Kanjeng Notosuman yang saat itu lebih kondang daripada serabinya. Maka nama Serabi Notosuman pun lebih dipilih daripada Serabi Kratonan,”
 kata salah satu dari narausumber kami.

Serabi Notosuman ini tepatnya berada di RT 07 RW 02 kampung Kratonan, Kelurahan Kratonan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta.

Pizza: Paparon’s Pizza cabang Surakarta berada di kampung Kratonan tepatnya di RT 03 RW 02 pinggir jalan Jenderal Gatot Subroto. Paparon’s Pizza ini dibuka di kampung Kratonan mulai akhir tahun 2007. Sebelum digunakan sebagai Paparon’s Pizza tempat itu sebelumnya adalah rumah milik alm. Bapak Abdul Salam. Rumah itu selain digunakan sebagai tempat tinggaljuga digunakan sebagai usaha pembuatan dan toko Kijing, yang diberi nama Mugen Lepas. Usaha ini juga turun temurun di keluarga alm. Bapak Abdul Salam. Usaha dan toko Kijing yang berlangsung selama puluhan tahun dan sukses ini akhirnya ditutup karena anak dari alm. Bapak Abdul Salam yaitu bapak Slamet sebagai penerusnya juga meninggal dunia. Dan akhirnya rumah dan tokonya pun dijual dan dibeli orang keturunan Tionghoa. Dari pembeli rumah itu, tempat atau lokasi tersebut juga disewakan kepada Bapak Setya Budi Rahardjo dan dibangunlah Paparon’s Pizza ini.

Bengkel: Bengkel Motor ini belum lama dibuka. Bengkel motor ini tepat bertempat di RT 01 RW 02 Kratonan di sebagian rumah dari Bapak Suwondo. Sebagian tempat dari rumah Bapak Suwondo ini memang sengaja disewakan karena tidak terpakai. Sebelum digunakan sebagai bengkel motor tempat ini pernah digunakan sebagai tempat beberapa usaha lainnya.

Beberapa puluh tahun yang lalu, sekitar tahun 1968, tempat ini digunakan sebagai tempat berjualan Soto Bapak Somo pada siang harinya, dan sebagai tempat angkringan (wedangan) Bapak Mangun pada malam harinya. Sampai pada tahun 1980an, setelah bapak Somo dan Bapak Mangun meninggal dunia, tempat ini berhenti tidak digunakan. Dan mulai sekitar tahun 1990-an tempat ini disewa oleh orang keturunan Tionghoa yang bernama Bapak Min dan digunakan sebagai tempat persewaan buku-buku komik dan majalah yang diberi nama Dua Dara. Dua Dara ini dibuka untuk waktu yang cukup lama yaitu hingga sekitar tahun 2005-an. Setelah itu tempat ini pun digunakan sebagai salon yang diberi nama Lian Salon. Hanya dengan waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 3 tahunnan. Kontrak sewa Lian Salon pun habis dan tidak dilanjutkan lagi. Dan Kemudian sekitar pertengahan tahun 2009 sampai dengan sekarang, tempat ini disewa dan digunakan sebagai Bengkel Motor yang khusus menangani Motor Sport dan Trail.

Mantep Roso: Warung makan ini tepat berada di RT 07 RW 02 Kratonan di pinggir jalan Jenderal Gatot Subroto. Warung makan ini belum lama dibuka pemiliknya yang bernama bapak Hartono. Sebelum digunakan sebagai warung makan, berpuluh-puluh tahun yang lalu tempat ini hanya digunakan sebagai tempat tinggal biasa dan usaha kecil-kecilan warung es buah. Setelah warung es dirasa kurang menguntungkan, maka usaha pun diganti menjadi usaha persewaan video shooting yang berjalan kurang lebih 4 tahun. Kemudian persewaan video shooting pun ditutup dan diganti dengan usaha pembuatan dan penjualan jamu tradisional yang diberi nama Jamu Putu Ayu. Usaha ini berkembang pesat hingga menyerap beberapa tenaga kerja dan membutuhkan beberapa tempat untuk memproduksi jamu tersebut. “Bahkan proses pembuatan jamu pun juga berlangsung di  depan rumah saya ini. Tepat di rumah depan itu. Dan itu masih ada buktinya (sambil menunjuk ke arah lumpang yang ditanam di atas ditembok rumah),” kata salah satu narasumber kami.  Namun mulai tahun 2000-an, usaha ini mulai mengalami penurunan dan akhirnya usaha ini pun ditutup. Tidak kekurangan akal, bapak Hartono mengalihkan usahanya dengan membuka toko kelontong dan menjual bensin eceran. Hingga pada akhir tahun 2010, toko kelontong pun ditutup dan diganti dengan warung makan yang diberi nama Warung Makan Mantep Roso hingga sekarang ini.

Toko Roti Prestasi: Toko Roti Prestasi bertempat di RT 03 RW 02 Kratonan yang juga berada di pinggir jalan Jenderal Gatot Subroto. Sebelum digunakan sebagai toko dan pabrik pembuatan roti. Tempat ini dahulunya sekitar tahun 1970-an digunakan sebagai penjual jasa mencuci dan mensetrika baju dan pakaian. Usaha yang dimiliki oleh Bapak Mulyadi ini akhirnya ditutup pada tahun 1980-an. Kemudian tempat ini pun diganti sebagai tempat penjualan dan reparasi raket yang dimiliki oleh Bapak Nasri. Hingga tahun 1990-an tempat ini dijual dan dibeli Bapak Daniel. Tempat ini dibangun dan digunakan sebagai usaha pembuatan dan penjualan roti, yang sampai sekarang kita kenal dengan Toko Roti Prestasi.

Sayur: Rumahnya di Joyontakan, berangkat dari rumah jam 04.00 pagi. Kemudian sampai di Pasar Gemblegan, ia membeli sayur-sayuran yang akan dijual kembali. Dan sebelum berangakat berjualan, ia menyempatkan diri untuk shalat subuh di pasar tersebut. Ibu Semi ini berjualan setiap hari Senin sampai Sabtu. Dahulu ia berjualan dengan berjalan kaki dari rumah ke rumah, namun seiring dengan bertambahnya dagangan yang ia jual, sekarang ia berjualan dengan menggunakan gerobak.

Jajanan Ibu Sumi: Ibu Sumi berjualan berbagai macam jenis makanan, dari nasi hingga goreng-gorengan. Beliau mengumpulkan dagangan tersebut dari pasar Kadipolo mulai dari habis subuh. Setelah itu, ia memindahkan dagangan tersebut ke dalam gerobak dan mulai berkeliling untuk menjajakan dagangannya mulai pukul 6 pagi. Rute berkeliling Ibu Sumi ini mulai dari jalan Madukoro menuju jalan Yos Sudarso dan belok ke jalan Maespati. Rute ini dia lalui mulai dari hari Senin hingga hari Sabtu. 

Ibu Sumi adalah salah seorang pedagang jajanan keliling yang setia berkeliling kampung Kratonan sejak jaman dahulu. Sudah sekitar 20 tahun beliau menggeluti usaha tersebut. Yang beliau jual antara lain nasi kucing (nasi bandeng, nasi teri, nasi oseng), berbagai jenis gorengan, dan berbagai jenis minuman dari es teh, es jeruk, Coffemix, dll. Beliau berjualan menggunakan gerobak dorong setiap pagi dan sore. Tidak jarang pula Ibu Sumi ini berjualan di depan rumahnya dan pembelinya adalah anak-anak dari SD di depan rumahnya. Ibu Sumi memiliki keluarga yang sederhana dan anak-anaknya sebagian besar merantau keluar kota untuk bekerja. Hasilnya, mereka bisa sukses dan membahagiakan Ibu Sumi yang hidup bersama suaminya, Pak Winoto.

Iya mbak, bapak sedang tidur, bisa ketemu sama saya aja juga gak apa-apa, mau saya ceritakan apa? saya ini cuma orang jualan keliling, bukan orang pinter kok,” begitu sapa Ibu Sumi kepada kami saat kami sampai du rumah beliau.

Gambaran kehidupan Ibu Sumi ini paling tidak sedikit mewakili kehidupan masyarakat Kratonan yang memiliki pendapatan yang hanya dalam taraf cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.  Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di Kratonan cukup mudah dan strategis, karena posisinya yang terletak di tengah kota dan beberapa tempat atau pusat perbelanjaan di sekitar Kratonan sehingga kebanyakan warga membeli kebutuhan di supermarket (Luwes dan Matahari). Ada juga tukang sayur keliling yang berjualan setiap pagi jam 6-11 pagi.

Sebagian warga Kratonan menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk membangun rumah yang megah dan membeli kendaraan. Ada pula yang ditabung dan pula yang membeli tanah meskipun membeli tanah di luar daerah Kratonan. Pendandatang dari etnis Tionghoa di kampung Kratonan mengubah perekonomian di Kampung Kratonan. Warga kampung sekarang mengikuti arus persaingan yang dihadirkan di tengah-tengah suasana kebersamaan kampung. Masyarakat kini setiap pagi pergi keluar kampung untuk bekerja dan pulang larut dari tempat kerja.

Kratonan tampak seperti kampung di tengah toko, karena hampir di setiap pinggir dari kampung ini dikelilingi toko yang menjadi pusat penghidupan warga Kratonan. Pendatang di Kratonan biasanya berbisnis di luar kota, sehingga rumah megah, mobil, dan barang berharga lainnya mereka tinggal di rumah mereka dan tentu dengan akses keamanan yang dirancang agar melindungi harta benda itu, maka terciptalah kampung Kratonan yang penuh dengan pagar untuk melindungi rumah mereka. Namun kuatnya faktor ekonomi memunculkan adanya kesenjangan sosial di dalam masyarakat Kratonan. Saat kita melihat ada banyak rumah megah, tapi ada juga rumah dengan aksen sederhana yang sedikit banyak menunjukkan adanya perbedaan kelas ekonomi penghuninya.

Suasana sangat akrab dengan warga Kratonan di masa kini dan kehangatan cengkrama warga yang dirasakan beberapa puluh tahun lalu, kini menyisakan saksi bisu di buk, perempatan gang, dan rumah-rumah tua yang menjadi rumah elite yag menjulang tinggi.  

Dulu sudah sangat berbeda dengan sekarang mbak. Dulu rumah itu ya biasa saja, pagarnya juga tidak tinggi-tinggi sekali. Jadi kalau mau melihat tetangganya bisa dilihat dari luar,
ya itu gak apa-apa. Tapi sekarang kalau lihat pemandangan, cuma pagar yang tinggi sekali,
ya punya pendatang-pendatang itu, mereka terkesan menutup diri,

Begitu kata Pak Darsono yang merupakan warga kampung Kratonan.

Meskipun beliau pernah merantau di Bali selama 30 tahun, beliau masih merasakan suasana dahulu yang ramai dan penuh keramahan dan hal itu beliau rasakan sangat berbeda sekarang. Masa kecil Pak Darsono dijalani di kampung ini. Dulu kampung ini sederhana dan bersahaja, tidak ada pembeda antara yang kaya dengan yang miskin meskipun dari dulu pekerjaan masyarakat di Kratonan ini rata-rata adalah sebagai pedagang, tetapi tidak sebegitu mencolok seperti saat ini.

Jam-jam ramai di Kratonan adalah saat pagi hari dan sore hari. Pagi hari adalah saat jam masuk sekolah, kantor, atau pergi ke toko. Dan di sore hari adalah saat warga pulang dari aktivitas masing-masing. Dulu setiap orang bisa dengan mudah mampir ke rumah tetangganya untuk sekedar menengok masakan apa yang dibuat oleh tetangganya, karena rumah pada jaman kecil Pak Darsono tidak setinggi sekarang, bahkan sekarang yang terlihat hanya tembok saja. Monoton sekali.

Kehidupan kini beralih, nafas keramahan kampung kini hanya dapat dirasakan di tiap gang. Orang tidak lagi memiliki ruang yang luas untuk mereka saling bertemu karena batas-batas yang terbuat oleh rumah-rumah bertembok besar itu. Masyarakat tetap butuh bertemu. Gang menjadi tempat di mana setiap cerita warga bertemu dan saling mengisi kehidupan satu sama lain.  Gang menjadi tempat anak-anak untuk bermain meski harus menepi saat ada kendaraan lewat. Gang menjadi tempat berjualan hik dan bagi penjual keliling lainnya untuk mencari penghidupan. Gang menjadi tempat kerumunan warga yang rindu akan nostalgia masa muda duduk bersama di buk pada sore hari.

Gang menjadi tempat yang seakan menjadi rutinitas untuk dikunjungi. Ada keinginan atau mungkin kebosanan karena tidak ada pemandangan lepas selain tembok-tembok besar. Dengan sendirinya pasti ada warga yang berada di gang atau perempatan gang, sehingga menjadi petunjuk keberadaan warga. Kratonan pada siang hari sangat sepi. Mayoritas warga bekerja di luar kampung. Jika kita berkeliling di Kratonan akan sangat terlihat di mana bagian luar wilayah Kratonan ini terjejer banyak toko-toko yang hampir mengelilingi wilayah Kratonan. Tetapi begitu kita masuk ke Kampung Kratonan, suasana terasa hening dan jarang sekali orang berlalu lalang. Rumah seperti tidak berpenghuni.

Kratonan pada malam hari akan lebih sepi lagi, aktivitas warga dapat dikatakan hanya sampai pukul 20.00 WIB, ditambah lagi karena tidak ada kegiatan ronda sehingga aktivitas warga hanya berkisar di sekitar gang dan hik yang berada di perempatan gang Madukoro. Selebihnya hanya beberapa orang yang kebetulan lewat untuk membeli keperluan. Pukul 22.30 malam biasanya ada warga yang mengunci pintu gerbang Kratonan yang berjumlah 4 gerbang, dengan gerbang utama yang dibiarkan terbuka sebagai akses masuk warga.

Mengunci gerbang ini sudah dilakukan dari jaman dahulu dan terus dilakukan sebagai cara untuk menjaga keamanan kampung, karena sangat disadari bahwa partisipasi untuk kegiatan ronda ini tergolong kurang. Tembok-tembok besar hadir sebagai cerita masa kini di kampung Kratonan. Saat banyak pendatang dari Tionghoa rumah-rumah yang dibeli ini berubah dengan gaya yang mewah.

Harapan: Hidup selama puluhan tahun di kampung Kratonan membuat saya tahu persis bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Zaman dahulu para warganya terasa lebih menyatu dan lebih aktif dalam memajukan kampungnya. Hal ini terlihat dalam antusiasme mereka dalam berbagai kegiatan, misalnya seperti kerja bakti membersihkan jalan-jalan dan selokan-selokan yang ada di sekeliling kampung, sehingga kebersihan bukan hanya terlihat di rumah-rumah mereka sendiri, namun juga terlihat di seluruh kampung Kratonan. Rasa saling memiliki kampung inilah yang menjadikan kampung Kratonan lebih terlihat rapi.

Berbeda dengan Kratonan zaman dulu, Kratonan zaman sekarang terpengaruhi oleh perkembangan zaman dan bertambahnya warga pendatang baru terutama warga keturunan Tionghoa yang sedikit banyak membawa perubahan terhadap kebiasaan warga. Seperti berkurangnya rasa kekeluargaan antarwarga dan mengurangi aspek keaktifan warga dalam kegiatan-kegiatan yang ada di Kratonan. Kegiatan-kegiatan yang ada tidak berkembang atau bahkan sudah tidak ada, misalnya Karang Taruna, tradisi Tirakatan di malam 17 Agustus, atau ronda malam oleh bapak-bapak.

Harapan kami terhadap kampung Kratonan ini adalah agar warga kampung Kratonan tetap menjaga sikap kekeluargaan mereka di tengah-tengah perkembangan zaman yang menjadikan manusia lebih bersifat individualis. Saling tolong-menolong antar warga diharapkan dapat memperkecil kesenjangan sosial yang timbul karena bertambahnya warga pendatang baru terutama warga Tionghoa yang bertempat tinggal di Kratonan. Dan dengan toleransi yang tinggi antarwarganya, diharapkan dapat memberikan rasa aman dan nyaman tinggal di kampung ini.

 

Bagian II:
Tia Anindya, Avista Wahyunintyas, Ardhina Kusuma W., Dani Bina Margiana,
Moh. Meidianto, Adrian Amurwonegoro, Fahmi Jafar, Sangaji Wida Sakti

 

Berita Terkait