Kampung Halaman, Hasrat dan Nostalgia

Supriyadi

Desaku yang ku cinta// pujaan hatiku// tempat ayah dan bunda// dan handai tolanku// tak mudah ku lupakan tak mudah bercereai// selalu ku rindukan// desaku yang permai. Lagu anak-anak karya L. Manik itu begitu sering aku lantunkan, setidaknya 5 tahun silam. Saat aku masih berada di kota Borneo, Kalimantan Barat sebagai seorang perantauan. Entahlah, hasrat mengenang dan dan merindui justru hadir saat ini.

Berada di tempat jauh, tanpa ada kepastian untuk pulang. Membuat siapapun rindu kampung halaman. Merantau sering menjadi ajang balas dendam atas semua kesulitan hidup di masa lalu. Saat impian di perantauan tercapai: kebebasan, uang, dan pekerjaan yang baik, keegoisan diri akan muncul. Saat kondisi itu muncul hanya dua hal saja yang difikirkan: menabung dan investasi. Begitu semua itu tercapai: hampa. Aku tetap rindu kampung halaman: pulang. Rindu keluarga dan keinginan berkeluarga, rindu rumah, teman-teman sepermainan, dan hubungan darah lainnya. Kutinggalkan semua kenyamanan itu satu tujuan: pulang ke kampung halaman.

Agustinus Wibowo dalam “Garis Batas” (2011) menuliskan bahwa orang rela melakukan perjalanan pulang selama hayat dikandung badan untuk mencari “akar”nya. Ia akan merunut leluhurnya, mencari lokasi nenek moyangnya terlahir, mempertanyakan sejarahnya, lalu menemukan “akar” tempatnya melekatkan diri. Bisa jadi ini pula alasan seseorang mengorbankan apapapun demi sebuah kata “mudik” menjelang Hari Raya. Jika ada yang berkata bahwa mudik bukan sekadar kebiasaan perantau atau sebatas tradisi, mungkin ada benarnya. Ada makna historis dan kulural di dalamnya. Ada banyak kekhasan yang di kampung halaman, suasana yang tidak didapati di kota atau bahkan negara yang saat ini ditinggali warga Negara Indonesia di negara asing. Walau ada sebagian orang yang menganggap kampung halaman dengan sebutan kampungan dan merujuk kepada sikap-sikap "terbelakang", "tidak tahu tata-krama" dan sebagainya. Identik dengan sawah ladang, kebun, ternak, pedesaan. Namun bagiku, kampung halaman tetaplah sebuah kebanggaan.

Selain itu kampung halaman hadir begitu kuat dalam ingat manusia, hingga tidak lekang dalam wujud ratusan bahkan ribuan karya tulis. Walau baru sedikit yang telah aku baca. Sebuah alasan logis mengapa begitu banyak pembaca menyukai novel perjalanan dibandingkan jenis tulisan lain, karena mengajak pembaca mengenang dan bernostalgia. Bernostalgia dengan masa kecil di pedesaan dan keindahan di dalamnya. Aroma padi dan rumput di pagi hari, gemericik sungai, suara kokok ayam di pagi hari, hingga masa bermain tanpa beban dan ketakutan.

Kampung halaman juga mengingatkanku saat di bangku SD (Sekolah Dasar). Kala itu teman-teman yang lain bermain di jam istirahat, aku ke perpustakaan sekolah. Sebuah tempat kotor dan tidak terurus yang mungkin tidak layak disebut sebagai perpustakaan. Lebih tepat jika disebut sebagai gudang (gudang buku). Banyak kotoran tikus, kecoak, dan sarang laba-laba. Jangan berharap ada petugas perpustakaan, guru kelas saja terbatas. Namun aku harus bertahan, karena di perpustakaan inilah aku bisa menemukan buku cerita bergambar. Jenis buku yang paling aku sukai, yang tidak bisa aku temukan dalam buku pelajaran. Aku terlalu bosan dengan  buku pelajaran.

Aku bersyukur buku-buku itu boleh aku bawa pulang tanpa perlu persyaratan khusus. Karena memang kala itu, buku bukan barang mewah yang harus dilindungi. Berbeda dengan alat peraga IPA, IPS,atau Matematika. Rusak sedikit saja, seorang guru akan marah besar. Namun saat buku di perpustakaan hilang, tidak ada stupun yang merasa kehilangan. Aku bersyukur, bisa membawa pulang buku sebanyak yang aku mau. Sayang buku-buku itu sekarang entah ke mana. Konon saat aku tinggal merantau ke Kalimantan Barat , buku-buku itu telah dijual kiloan.

Masa lalu mengingatkanku pada perkataan Bernard Lewis dalam Sejarah: Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-ciptakan (2009). Mengingat, mengenang, dan bernostalgia dengan masa lalu membuat seseorang berharap bisa menjelaskan dan membenarkan masa kini serta meramalkan masa depan. Samarpan melakukan elaborasi mengenang ini dalam buknya Tiya (2010). Lewat perjalanan seekor burung beo yang terbang ke tempat yang tak diketahui, mencari entah apa. Perjalanan membuat seseorang sadar bahwa bahwa apapun yang pahit memiliki jumlah kemanisan yang seimbang di dalamnya.

Bahkan ritual mengenang kampung halaman ditampilkan secara konsisten oleh Ahmad Fuadi dalam trilogi Negeri 5 Menara (Negeri 5 Menaran, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara). Tokoh Alif dibuat tertambat hatinya dengan kampung halaman sejak merantau ke pondok pesantren hingga berkeliling separoh belahan dunia. Namun satu keiinginannya, pulang ke kampung halaman. Kampung halaman juga dipakai penulis lain dalam Novel-novelnya. Buya Hamka Di bawah lindungan ka'bah; Mo Yan dalam otobiografi Di Bawah Bendera Merah (2013); Asne Seirstad lewat Saudagar Buku;  Andrea Hirata lewat tetralogi Laskar Pelangi (Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov), Habiburrahman El-Shirazy dalam dwilogi Ketika Cinta Bertasbih.

Nostalgia kampung halaman juga dihadirkan oleh Leila S. Chudori dalam novel Pulang (2012). Tokoh-tokoh di dalamnya terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di tengah penolakan rezim Soeharto. Mereka adalah eksil politik Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang.

Bagi yang pernah tinggal di pesantren, membaca Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH. Saifudin Zuhri bisa menjadi sengatan menumbuhkan kembali nostalgia kehidupan pesantren dengan segala kompleksitasnya. Salah satu buku yang juga begitu kuat mengenang kampung halaman adalah Jalan Hidupku Sebagai Juru Kisah (2004) karya Gabriel Garcia Marques. Sebuah novel Autobiografis dari seorang maestro sastra dunia.

Memang seharunya kampung halaman tetap ada dalam ingatan setiap insan. Hadir menemani pelakunya untuk melakukan refleksi masa kini dan masa depan. Melupakan kampung halaman terkadang mengaburkan seseorang menapaki masa kini dan masa depan. Karena di kampung halam ada begitu banyak ikatan yang terjalin, yang tidak akan ditemukan kesamaannya di tempat lain.

 

Santri di Bilik Literasi Solo

o 

Berita Terkait