Jokowi Dalam Teks

Akhmad Ramdhon

Sejak tengah tahun 2013, jikalau anda berkunjung ke toko buku maka buku yang menarasikan Joko Widodo semarak menghiasi rak-rak buku. Jokowi-begitulah biasanya dipanggil telah menjadi magnet tema bagi penulis buku. Setidaknya ada beberapa judul buku yang dirilis, Jokowi : From Zero to Hero (Bernard Taufani, Suka Buku), Spirit Semut Ireng Jokowi (R. Toto Sugiharto, Bangkit), Jokowi : Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker (Yon Thayrun, Noura Books), Jokowi : Dari Jualan Kursi Hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi (Zaenuddin HM, Ufuk Press), Jokowi : Tokoh Perubahan (Arif Supariyono dkk, Republika), Jokowi : Pemimpin Yang Rendah Hati (Dwi Suwiknyo, Arus Timur), Jokowi : Spirit Bantaran Kali Anyar (Domu D Ambarita, Gramedia), Pesona & Karisma Jokowi (Bagus D Wijoyo, Sinar Kejora), Gado-Gado Kerikil Jokowi (Anas Syahirul A, dkk, Galangpress), Jokowi : Memimpin Kota Menyentuh Jakarta (Alberthiene Endah, Tiga Serangkai), dan Jokowi Ahok : Pemimpin Yang Biasa-bisa Saja (A.Yogaswara, dkk Buku Seru).

Jokowi yang sebelumnya  Walikota Surakarta dirasa telah menebar inspirasi tentang arti baru kepemimpinan yang lama absen dalam konteks birokrasi di Indonesia. Sebuah potret tentang makna kepemimpinan yang lahir dari pengalaman dan akumulasi integritas untuk mewujudkan harapan warganya. Jokowi yang lahir dan tinggal dari pinggiran kota kemudian menjadi narasi pembuka yang diurai secara dramatis disemua buku yang ditulis. Kisah kebanjiran, sekolah yang susah, berpindah-pindah tempat tinggal, semuanya menjadi bingkai keprihatinan yang pada akhirnya membentuk karakter kepedulian Jokowi hari ini. Narasi tersebut sekaligus menempatkan makna hadirnya Jokowi sebagai figure pemimpin yang lahir ditengah-tengah persoalan warga dan bukan pemimpin yang diciptakan atas nama kreasi dan kepentingan apapun (Eep Saefullah, epilog Zaenuddin HM : 120).

Semua kisah sukses akan berbasis keinginan yang kuat, begitu pula semua buku yang menulis kisah Jokowi. Semangat untuk belajar memberi bekal kisah-kisah sederhana Jokowi ketika belajar hingga memasuki kuliah. Seperti anak-anak sebayanya, mendengarkan music rock dan berambut panjang adalah hal yang lumrah. Dan hari-hari ini terasa special, ketika Jokowi kemudian memakai kaos khas penggemar rock sambil ikut berjejal menonton konser.

Kedekatan dengan warga kota-khususnya ketika menjadi Walikota Surakarta kemudian menjadi bahan terbanyak dari semua buku yang menulis Jokowi. Mulai dari kedekatan dengan sopir dan ajudan, tak mengambil gaji, keliling kota setiap Jumat yang kemudian dikenal midher praja, hingga cara-cara yang unik ketika membuat beragam event kota seperti Solo Batik Carnival, Solo International Performing Arts maupun Solo International Etnic Music. Semua yang dilakukan Jokowi pada awalnya hanya dikonsumsi oleh media-media lokal namun beberapa moment terakhir kemudian menjadi berita dalam skala yang menasional.

Jokowi secara berlahan menyita perhatian masyarakat luas yang haus akan pola-pola kemimpinan nan inspiratif. Media lalu berduyun-duyun mengikuti gerak langkah Jokowi dan membuatnya makin populer. Gambar Jokowi dalam beragam pose bertebaran di media massa maupun jejaring sosial media. Popularitas yang terbangun menjadi modal bagi Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya di Surakarta. Pasangan Joko Widodo dan FX Hadi Rudiyatmo yang memakai batik bermotif godhong kates memenangkan Pemilukada dengan perolehan 90.09% (KPU Surakarta, 2010).

Endapan berita Jokowi lalu meledak bersama dirilisnya mobil Esemka sekaligus memantik diskursus baru strategi mobil nasional. Memori publik kemudian diajak mengingat kembali betapa kebijakan kota Surakarta sangat humanis ketika melakukan relokasi pedagang kaki lima dan merevitalisasi pasar-pasar tradisional. Nama Jokowi makin moncer bersama dirilisnya nama Jokowi sebagai nominator oleh The City Mayors Foundation (Arif Supriyono, 2012). Dimana pada saat yang bersamaan, Jokowi mendapatkan simpati publik terkait polemik pemanfaatan Saripetojo.

Jokowi hadir layaknya simbol kuasa yang menjanjikan kebaikan nan baru (Benedict R.OG Anderson, 1990 : Sartono Kartodirdjo, 1984). Sosok Jokowi lalu bergerak menjadi komoditi berskala nasional. Momentum itulah yang dimanfaatkan sebagai strategi David versus Goliath ketika hendak memenangkan Jokowi melawan incumbent di Pemilukada DKI Jakarta. Bermodal baju kotak-kotak, Jokowi menyambangi warga dikampung-kampung, berjalan menghubungan sudut-sudut Jakarta. Kampanye sederhana Jokowi diikuti puluhan media yang melihat Jokowi sebagai eksotisme baru bagi demokrasi dinusantara. Jokowi kemudian menang secara mengejutkan, mengejutkan bagi semua pihak bahkan bagi para penulis buku-buku tentang Jokowi.

Hingga hari ini, semua aktivitas Jokowi menjadi media darling hingga melahirkan beragam testimoni yang dirilis lewat jejaring maya. Dan kondisi tersebut menjadi kekurangan dari semua buku yang ada, dengan model pendekatan biografis semua narasi melupakan ruang kritik. Seakan-akan semuanya telah berjalan dengan baik, padahal tidak semulus yang digambarkan dan kritik yang ada adalah bagian dari upaya nan konstruktif bagi kota Surakarta. Selain itu, sekalipun beberapa diantaranya bersumber wawancara namun kebanyakan rujukan informasi dari buku yang ditulis berasal dari dunia maya, yang relative sulit untuk divalidasi. Namun apapun kondisinya,  kini puluhan buku yang berkisah Jokowi bersanding dirak-rak toko buku, dengan kategori kepemimpinan bersama buku-buku yang mengurai kisah-kisah Susilo Bambang Yudoyono, Dahlan Iskan, Chairul Tandjung hingga Hatta Radjasa, sekaligus menderek semua narasi popularitas Jokowi dalam konteks politik praktis.

Berita Terkait