Jetis, Kampung Pendatang

Kampung Jetis merupakan bagian dari Kelurahan Kadipiro Surakarta, Kelurahan yang merupakan pintu gerbang kota Surakarta dari arah utara. Secara administratif-geografis kampung Jetis sebelah utara berbatasan dengan kampung Tegalsari; di selatan berbatasan dengan kampung Banyuagung; di timur berbatasan dengan kampung Bayan dan kampung Kadipiro; serta di sebelah barat berbatasan dengan kampung Krembyongan dan kampung Kleco. Kampung  Jetis terdiri atas satu Rukun Warga (RW) dan dibagi menjadi enam Rukun Tetangga (RT). Setiap RT rata-rata ada sekitar lima puluh rumah. Sebagai kampung kota di kampung Jetis sudah jarang ditemui daerah persawahan. Sebagian besar merupakan kompleks permukiman yang cukup padat.

Nama Jetis itu sendiri sebenarnya tidak memiliki arti khusus yang dimengerti oleh warganya. Entah kenapa kampung ini diberi nama kampung Jetis. Tidak ada yang tahu asal usul dan makna di balik nama Jetis ini. Itulah jawaban yang kami dapat dari warga ketika bertanya tentang Jetis. Baik warga maupun tokoh atau tetua-tetua kampung, bahkan warga pertama yang tinggal di kampung ini pun tidak tahu arti atau maksud di balik nama Jetis ini dan mengapa kampung ini diberi nama kampung Jetis. Menurut mereka, Jetis adalah sebuah nama yang terdengar begitu akrab di telinga masyarakat. Mengapa? Karena hampir di setiap daerah ada kampung yang bernama kampung Jetis. Seperti di Palur, Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo, dan sebagainya. Nama Jetis terdengar sangat akrab dan familiar, sehingga banyak yang menjadikannya sebagai nama untuk kampung mereka, begitupun dengan kampung Jetis yang terdapat di kelurhan Kadipiro, Nusukan, Surakarta ini.

Kami mulai menelusuri kampung Jetis untuk menggali cerita-cerita di dalamnya. Penelusuran pun dimulai melalui obrolan santai dengan warga setempat dan melalui lensa-lensa kamera kami mulai menangkap cerita-cerita unik di kampung ini.

Menurut cerita yang kami dengar dari ketua RT setempat, dulu sekitar tahun 1958 kampung Jetis hanya terdiri dari satu RT, karena hanya ada sekitar 30-an rumah. Kemudian seiring berkembangnya zaman, kampung pun mengalami perkembangan. Dimulai pada kira-kira pada tahun 1978 baru dibentuk RW. Setelah G30S/PKI RT dalam satu RW mulai dipecah, menjadi empat RT, sampai tahun 2010 kampung Jetis terbagi kedalam delapan RT. Sampai akhirnya dua RT dimekarkan menjadi satu RW tersendiri yaitu RW 32. Sehingga sekarang kampung Jetis sendiri ada enam RT. Mengapa satu RT tersebut terpecah dan berkembang menjadi empat RT? Hal itu dikarenakan mengikuti perkembangan jumlah penduduk. 

Semakin ke sini jumlah warga semakin bertambah, baik itu dikarenakan
meningkatnya angka fertilitas maupun karena banyaknya pendatang
,”
ujar ketua RT setempat.

Bahkan ketua RT setempat menuturkan bahwa di kampung Jetis ini ternyata lebih banyak warga yang merupakan pendatang daripada warga asli kampung tersebut. Memang benar, sejak tahun 1952 kampung ini sudah dinamakan Jetis. Dinamakan Jetis karena sudah akrab didengar bagi warga sekitar dan nama Jetis sudah banyak ditemui. Sebelum tahun 1955 kampung Jetis masih termasuk ke dalam kabupaten Karanganyar, tepatnya masuk kecamatan Gondang Rejo. Ketua RT pertama dijabat oleh bapak Marto Wiguno antara tahun 50-an sampai 70-an. Beliau ditunjuk sebagai ketua RT karena dulu hanya ada tiga PNS dan salah satunya beliau.

“Saya di sini sejak lahir, tahun 1954. Dulu di sini cuma ada tiga rumah. Makanya rumah saya termasuk yang pertama di sini. Dulu di sekitar rumah saya ini semuanya sawah bahkan dari rumah saya ini sepur lewat itu kelihatan dari sini. Dulunya rumah saya ini setiap tahunnya dua sampai tiga kali pasti kemalingan pernah  ibu saya dulu sampai  gelut sama malingnya,”
 ujar bapak Muslih.

Itulah sepenggal cerita yang disampaikan bapak Muslih, yang merupakan warga pertama yang tinggal di kampung Jetis dan sampai sekarang rumah beliau masih berdiri gagah menantang bangunan-bangunan baru dan modern di sekitarnya. Di kampung Jetis ini masih ada  lahan pertanian milik warga yang sejak zaman dulu hingga sekarang masih utuh dan terus digarap oleh pemiliknya secara turun-temurun. Lahan pertanian seluas 10 Ha ini adalah satu-satunya lahan sawah yang tersisa di kampunh Jetis dan luasnya tidak berkurang sama sekali. Sementara lahan-lahan pertanian lainya telah dialihfungsikan menjadi pemukiman penduduk.

Penduduk Jetis tergolong penduduk yang heterogen. Di kampung ini cenderung banyak pendatang, maka asal-usul masyarakat, agama, suku dan etnisnya berbeda-beda. Dan terlihat pula heterogenitas pada pekerjaan, 30% warga kampung Jetis merupakan pegawai negeri, sementara lainya bekerja di bidang swasta. Yang dominan adalah sebagai tukang (tukang batu, tukang kayu), bekerja di berbagai industri rumah tangga (makanan, getuk lindri, timbangan, gembukan, sapu, dan lain-lain). Sementara yang berprofesi sebagai petani sangat minim, yaitu hanya 3 orang saja, dan mereka hanya menggarap sawah milik keluarga yang diwariskan secara turun-temurun dan digarap secara bersama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selama kami mengunjungi kampung Jetis, di siang hari suasana kampung terasa sangat sepi, semua warga pergi bekerja dan anak-anak bersekolah, nyaris tidak terlihat penduduk diluar rumah atau yang hilir mudik di sepanjang jalanan kampung. Kampung terlihat lengang dan kosong. Ketika hari mulai sore baru terlihat kehidupan ala kampung yang ramah dan akrab. Pada sore hari mulai terlihat penduduk kampung Jetis berada di luar rumah masing-masing, bercengkrama dengan keluarga ataupun tetangga, saling bertegur sapa dan tertawa, dan juga terlihat anak-anak yang bermain, lari-larian, dan bersepeda selama kami menyusuri jalanan kampung, warga kampung tersenyum hangat dan menyapa kami dengan ramah.

Seperti kebanyakan kampung di kota Surakarta, kampung Jetis juga mayoritas didiami oleh masyarakat Jawa (suku Jawa) yang sebagian besar beragama Islam. Mata pencaharian masyarakat bermacam-macam (heterogen) mulai dari tukang becak, pegawai negeri, sampai pengusaha. Terdapat beberapa home industry yang ada di kampung Jetis di antaranya industri timbangan, gethuk, dan pembuatan sapu.

Dari segi kegiatan warganya, kampung Jetis juga termasuk kampung yang ‘hidup’. Berbagai kegiatan kemasyarakatan diadakan dan diikiuti oleh warga masyarakat. Kegiatan-kegiatan umum di antaranya kerja bakti, karang taruna dan arisan rutin. Sementara kegiatan yang berbasis keagamaan di antaranya pengajian keliling dan TPA. Kampung Jetis juga memiliki aset kampung yang dimanfaatkan  untuk kepentingan warga yaitu, Yayasan Jetis Waris, Koperasi Simpan Pinjam dan FKPM Jetis.

Ketika kami mengunjungi rumah ketua RT, kami mendengar banyak cerita.

Dulu banyak sekali tradisi-tradisi kebudayaan Jawa dan ritual adat yang masih dilaksanakan di sini, namun seiring berkembangnya zaman, pola pikir masyarakat sekarang pun mulai berubah, ditambah lagi dengan kehadiran pendatang yang melebihi penduduk asli. Tradisi-tradisi itu kemudian hilang karena dianggap sudah tidak sesuai dan melenceng dari ajaran agama,” ujar bapak Suyoto selaku ketua RT 5 kampung Jetis.

Namun di tengah suasana krisis ritual adat seperti itu, masih ada beberapa tradisi yang masih bertahan dan terjaga hingga saat ini. Tradisi itu adalah kenduri/kenduren atau slametan, yang merupakan tradisi yang sudah turun temurun dari jaman dahulu, yaitu doa bersama, kenduren demi kenduren yang berlangsung. Orang-orang kampung berkumpul untuk mengaminkan doa dari tujuan kenduren itu. Dalam kenduren tiap orang berbaur menjadi satu, di sana tidak ada lagi pemisahan saya, dia, atau mereka, tapi berbaur menjadi kita. Siapapun dia, baik ketua RW, ketua RT, pak Haji, kyai, atau ketua-ketua yang disegani, apapun agama dan aliran politiknya mereka berkumpul, bertemu dalam suasana akrab dan memperkuat dalam dukungan doa apa yang menjadi cita-cita tetangga atau orang yang mengadakan kenduren tersebut. Kenduren mengukuhkan kebersamaan mereka. Itulah sedikit cerita pengantar tentang kampung Jetis.

Kami melihat kampung Jetis memiliki beraneka ragam model bangunan rumah. Ada rumah-rumah yang berasitektur modern, dan masih ada pula rumah-rumah gedhek yang tetap berdiri kokoh di tengah-tengah kegagahan rumah-rumah baru yang tinggi dan besar yang dibangun di sekitar mereka, bahkan beberapa warga di kampung ini masih memiliki bangunan rumah yang berbentuk Joglo. Pada sore hari kami menyusuri jalanan kampung, ada salah satu rumah Joglo yang kami lihat di sudut jalan. Berdasarkan cerita dari pemiliknya rumah Joglo ini belum diganti atapnya sejak tahun 1955 dan masih dipertahankan hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada masyarakat yang mempertahankan kebudayaan Jawa melalui pelestarian rumah Joglo di tengah derasnya arus pembangunan kampung dan rumah-rumah di sekelilingnya. Selain rumah gedhek dan Joglo di kampung ini pun banyak rumah-rumah yang berasitektur megah dan modern. Di salah satu gang kecil yang kami lewati terlihat pemandangan yang sangat kontras, dimana deretan bangunan rumah-rumah tinggi dan megah berhadapan dengan deretan rumah-rumah gedhek yang sederhana.

Saat menelusuri kampung, terlihat jelas keberagaman bangunan rumah yang berhadap-hadapan dan hanya terpisah oleh gang kecil saja. Di sebelah timur tampak  bentuk bangunan rumah jolgo yang sederhana sementara di sebelah barat tampak bangunan rumah yang modern  dan cukup mewah. Bila kita mengamati secara cermat ada perbedaan yang cukup signifikan dalam model bangunan rumah yang ada di kampung ini. Jalan merupakan batas bangunan yang memiliki dua perbedaan jelas. Sederet rumah memiliki keanggunan dan kemegahannya dengan model pagar yang cukup kuat dan kokoh melindungi rumah di dalamnya. Sedangkan di seberangnya berderet rumah yang sangat sangat sederhana dan tidak ada pagar yang membatasi untuk melindungi rumah mereka.

Salah satu yang menjadi penghubung bangunan di antara keduanya adalah jalan. Jalan memberikan keakraban di antara perbedaan bangunan antara masyarakat di kampung ini. Banyak masyarakat memanfaatkan jalan untuk saling berinteraksi, sehingga jalan sangat penting dalam menunjang sosialisasi antara mereka. Kampung ini juga sangat memperhatikan kondisi jalan yang ada di sekitar mereka. Dengan saling gotong royong masyarakat kampung Jetis memperbaiki jalan dari jalan satu ke jalan yang lain agar dapat memberikan kenyamanan bagi setiap warga yang melewatinya. Kondisi kebersihan jalan sangat dijaga di kampung Jetis ini. Terlihat jalan-jalan di sepanjang kampung sangat bersih dan terjaga, sehingga memberikan kenyamanan bagi warga yang menggunakannya.

 

Bagian I : 

Nisa Hansyah A. Patrani Victoriya, Tendra Istanabi, Fimalanda Afriliasari,
A. Nimas Kesuma N., Nabella Sefina, Hari Sandita Anggi

Berita Terkait