Geliat Pemekaran Kampung

Anak-anak Kampung Bamaha, Distrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan siang itu, 15 November 2021 susun pindang di lantai semen rumah bagian belakang. Dong main-main hp saja. Soalnya adalah berjam-jam dong tahan tidur sambil tangannya lincah memainkan hp.  Rangkaian laporan oleh I  Ngurah Suryawan yang diposting di media sosial Facebook 
 
Seri Tong Pi Kampung #1 Dada Kosong Mengakses Dunia

Anak-anak Kampung Bamaha, Distrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan siang itu, 15 November 2021 susun pindang di lantai semen rumah bagian belakang. Dong main-main hp saja. Soalnya adalah berjam-jam dong tahan tidur sambil tangannya lincah memainkan hp.

"Kam tra pakai baju" tanya saya. Dong bilang "Tong dada kosong sajah om". Pak Robert, ayah mereka, tidak tampak dalam foto ini. Ia tidur di bangku panjang setelah tidak tahan mengawasi anaknya main hp. Pada kesempatan yang lain Ia mengatakan ke saya, "Anak-anak dong main barang itu (hp) karena ada permainan macam-macam," kisahnya.

Akses internet di Kota Ransiki memang baik. Kampung Bamaha menikmatinya. Anak-anak kecil sudah familiar dengan hp. Malam-malam, suasana di depan rumah yang saya tempati, ada empat anak-anak yang sibuk main hp di pondok depan rumah. Colokan listrik lengkap sudah disiapkan di pondok.

Anak-anak Bamaha terhubung dengan segudang informasi dalam genggaman hp dan internet. Meski banyak kampung-kampung lain di daerah pedalaman Mansel, sulit membayangkan kampung-kampung Papua kini terisolasi dengan dunia global yang dibawa hp dan internet.

Tiga distrik terjauh yaitu Dataran Isim, Tahota, dan Neney mungkin mengalami keterisolasian. Namun saya mendengar banyak arus migrasi mereka juga menuju Kota Ransiki. Mereka mengakses dunia global di Kota Ransiki. (INS)


Seri Tong Pi Kampung #2 Pak Mansour dan Empat Generasi Transmigran

"Kaki saya sudah gemetar sekarang pak. Tidak kuat bertani lagi." kisahnya mengawali pertemuan kami di warung gorengannya di pinggir jalan umum Oransbari, Manokwari Selatan, Papua Barat.

Pak Mansour menjejakkan kaki di Tanah Oransbari ini sebagai generasi kedua transmigran di tahun 1968. Dari Cimahi dia masih kecil saat diajak keluarganya transmigrasi ke Papua. Namun dia sudah mengerti betul apa yang terjadi. Ayahnya membawa mimpi untuk memulai menata hidup baru yang lebih baik di Tanah Papua. 

Berbekal kemampuannya bertani, ayah dan ibunya saat itu mulai berjuang di rantauan. Tahun 1970an dia melihat banyak warga trans yang mulai mengolah tanah di Oransbari ini. Lahirlah kemudian Desa Sindang Jaya di Oransbari sebagai desa awal transmigran. Keluarga Pak Mansour bukannya sendirian, banyak warga dari Jawa Barat yang masuk Oransbari dan kemudian membangun desa sendiri. 

Sentra Pemukiman (SP) terbagi beberapa wilayah dan asalnya. Dari Jawa Tengah dan Jawa Timur terkonsentrasi di beberapa desa yaitu: Sido Mulyo, Margo Mulyo, dan Margo Rukun.
 
Memasuki usia senjanya, Pak Mansour dan istri kini membuka warung gorengan dan kopi, bersebelahan dengan bengkel anaknya. "Anak-anak tidak ada yang mau bertani pak," ujarnya. 
 
Pak Mansour kini menyaksikan generasi keempat warga transmigrasi di tanah Oransbari. Dia sudah memiliki cucu yang beranjak dewasa. Tidak ada niatnya untuk meninggalkan Oransbari. "Hidup saya sudah di sini pak."


Seri Tong Pi Kampung #3  Jual Pisang Beli Pisang Goreng

Idiom itu jauh sebelumnya sudah saya dengar. Jadi mama-mama Papua biasanya akan menjual pisang-pisang di pasar. Hasil menjual pisang tersebut akan dibelikan pisang goreng di para penjual yang mayoritas adalah para migran. Lumrah saya dengar jualan gorengan beraneka macam, tidak pisang goreng saja, adalah satu usaha yang menjanjikan di Papua.

Gorengan juga adalah penyelamat para mahasiswa di Manokwari. Saya ingat sekali seorang mahasiswa yang tinggal di asrama wilayah pegunungan di Manokwari berujar, "Kalau trada sayur, tong biasanya alas gorengan bapa," tuturnya. Jika tidak ada sayur untuk menemani nasi, mereka biasanya menggunakan gorengan, bisa pisang, tahu atau tempe.

Suatu siang di ruas jalan Oransbari, saat terik pada 21 November 2021, saya melihat seorang mama membeli dua kresek gorengan seharga Rp.50.000. Harga sebiji gorengan adalah Rp. 2.000 di Oransbari. Di sepanjang ruas jalan Oransbari, saya melihat hanya ada 2 penjual gorengan.

Pertanyaannya, mengapa mama-mama Papua tidak bisa membuat gorengan dan kemudian menjualnya?


Seri Tong Pi Kampung #4 Narasi Ketimpangan

Foto ini saya ambil di Pasar Ransiki, suatu pagi pada 26 November 2021. Tetiba saya ingat foto yang nyaris sama dipublikasikan Majalah Suara Papua sekira tahun 1970-1980 yang diterbitkan oleh sebuah organisasi Papua di Belanda. Nyaris tidak ada banyak perbedaan kedua foto ini 40an tahun lebih.

"Begitu-begitu sudah" ungkapan pasrah kepada situasi stagnan tanpa perubahan di Papua. Stagnasi ketimpangan vulgar itu kita lihat di pasar-pasar Papua. Sektor perekonomian dengan gamblang kita lihat "dikuasai" oleh para migran.

Tampak luar kita melihat narasi ketimpangan yang nyata. Jika lebih mendalaminya, kita akan menemukan sumber permasalahan struktural yang mengakar kuat. Saya tidak mengetahuinya secara pasti. 

Tapi yang pasti, kini sumber-sumber produksi ekonomi tidak penuh menjadi kedaulatan rakyat Papua. Basis-basis sumber ekonomi rakyat Papua yang subsisten sudah goyah dengan sistem ekonomi kapitalistik. Semuanya diangkut oleh hadirnya investasi yang mengeruk sumber daya alam Papua. 

Kembali ke narasi ketimpangan di Tanah Papua, kita perlu memahaminya secara mendalam. Di dalamnya, silang-sengkarut akumulasi sistem ekonomi yang kapitalistik selalu akan membayangi.

Seri Tong Pi Kampung #5 Geliat Pemekaran Kampung

Semangat pemekaran kampung sungguh saya rasakan di pedalaman Distrik Neney, Manokwari Selatan. Beberapa masyarakat yang saya temui sangat antusias membicarakannya. "Pejabat dong tembak masyarakat pu jantung," ujar paitua yang punya rumah tempat kami tinggal. 

Tokoh politik dan pejabat menjadikan pemekaran kampung sebagai jualan kampanye dan program kerja yang ampuh. Jantung masyarakat itu adalah keleluasaan akses ekonomi politik yang ditawarkan oleh negara. Melalui pemekaran kampung diyakini akses itu semakin luas.

Saat ini Distrik Neney terdiri dari tujuh kampung yaitu: Kampung Neney, Disi, Wama, Aryawanmoho, Sesum, Hiyou, dan Benyas. Rencana pemekarannya menjadi delapan kampung lagi yaitu: Kampung Anggrek Indah, Irij, Sunggera, Umey, Mboryo, Maupodi, Bosmer, dan Srimeri. 

Kepentingan tokoh politik dan pejabat bertemu dengan keinginan masyarakat untuk mengakses dana-dana yang langsung ke kampung. Namun, soal di internal kampung bukannya sederhana. Struktur kepemilikan tanah masyarakat, keberagaman marga, hak dan kewenangan di kampung sungguh sangat kompleks.

Dinamika pemekaran kampung begitu kompleks berkaitan dengan perlombaan akses terhadap dana desa (kampung). Pada sisi yang lain, dana kampung dan pemekarannya melahirkan berbagai tingkah polah manusia. Maka tumbuhlah para elit, broker, atau orang-orang yang bersiasat memanfaatkan situasi.

#TongPiKampung #GeliatPemekaranKampung

OLeh I Ngurah Suryawan
Antropolog Universitas Papua 

Berita Terkait