Belajar pada Pengetahuan dan Kearifan Lokal Kampung-Kota

Seri Srawung Kampung-Kota #3 via Zoom pada 1-2 September 2021 berlangsung hangat dan penuh antusias. Antusias partisipan diskusi terlihat saat banyaknya yang hadir meskipun acara belum dimulai. Peserta saling mengobrol dan berbagi kisah. Perhatian peserta diskusi berlanjut ketika pemaparan pertama yang disampaikan Kepala Desa Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi, ia mencoba memajukan desanya sekaligus mempertahankan desanya tersebut. Kampung adalah masa depan kota yang dapat diberdayakan dan memiliki potensi dalam segala aspek kehidupan.
Saat ini, Panggungharjo sudah menjadi salah satu prototipe desa yang melakukan banyak sekali inovasi. Panggungharjo seperti ‘Desa untuk Semua’, yakni kehidupan yang layak untuk semua orang. Perumahan, kesehatan, pendidikan, dan ruang sosial yang layak untuk semua. Panggungharjo mengutamakan kesehatan untuk semua dengan program perlindungan sosial sejak 2013 melalui Program Badan Pelaksana Jaring Pengaman Sosial (Bapel JPS) sebagai jaring pengaman sosial.
Pendidikan untuk program sekolah sampai sarjana dan tingkat yang lainnya, sebab ketangguhan desa berasal dari ketangguhan kebudayaannya. Desa adalah masa depan dunia karena memiliki tiga komoditas strategis. Pertama desa memiliki udara, air bersih, dan pangan yang sehat, karena hampir semua makanan di kota terdistraksi bahan yang berbahaya seperti pestisida dan lainnya.
Kedua, menariknya desa adalah memiliki perangkat yakni bentang hidup dan bentang alam, namun terpenting adalah bentang sosial yang unik.
Keberadaan Panggungharjo mengiringi sejarah Mataram yang terus direproduksi menjadi ekspresi kebudayaan saat ini. Pergeseran kebudayaan akan berdampak pada pola konsumsi makanan juga. Misalnya tempe tahu sudah berubah pola reproduksi sampai akhirnya dikonsumsi. Pergeseran budaya akan menjadikan diri kita berjarak dengan apa yang kita makan. Tradisi dolanan anak juga seharusnya menjadi kekayaan dari kebudayaan, namun sekarang sudah susah ditemukan karena dampak dari perubahan zaman.
Dolanan anak yang menjadi stok pengetahuan anak sejak dini sebenarnya adalah sebuah metode belajar. Dolanan anak bukan menjadi kreasi saja, namun sebagai pranata sosial yang ada di desa. Semua permasalahan yang ada di desa sebenarnya memiliki sumber pokok. Isu desa bersumber dari keluarga, karena ketahanan keluarga sekarang sudah tidak berarti menjadi hal yang utama sebagai pengatur pranata sosial yang ada di kehidupan ini.
Upaya untuk mengembalikan itu adalah dengan usaha menguatkan keluarga karena mereka adalah pilar penting bagi perubahan yang terjadi. Puncak dari relasi sosial adalah keluarga. Maka dari itu yang harus dikuatkan adalah keluarga. Membangun keluarga dan ketahanan desa secara bersama-sama adalah cerminan dari gotong royong.
Mitigasi Bencana
Dalam sesi diskusi ini, juga bercerita seorang warga lokal yang berprofesi sebagai praktisi mitigasi bencana yakni Budi Utomo (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat). Budi Utomo tinggal di Kampung Sewu, yang memiliki keunikan tersendiri. Ketiga sisi Kampung Sewu dikelilingi oleh sungai yang sering menimbulkan banjir di sana.
Banjir sangat sering terjadi karena Kampung Sewu berada di bantaran. Selain itu, kampungnya terlihat istimewa karena mendapat penggusuran. Pada praktiknya, dari tahun 1990 hingga kini, Kampung Sewu telah mengalami tiga kali penggusuran. Dahulu Kampung Sewu digusur dengan imbalan penjualan tanah sebesar 50 ribu, namun hanya dibayar 5 ribu rupiah pada masa itu. Sempat terjadi relokasi pula ketika zaman Presiden Jokowi. Relokasi pernah berhenti dan dilanjut pada 2021. Nilai ganti rugi relokasi yang kecil itu tidak bisa lagi untuk membeli tanah di Solo.
Kampung Sewu memiliki gerakan sosial seperti bersih desa serta pemetaan bencana. Dari langkah itu akhirnya dibuat riset tentang tanggap bencana. Usaha itu mampu dilaksanakan warga Kampung Sewu sehingga dapat mengurangi kerugian yang dialami. Dari pengalaman itu, warga Kampung Sewu akhirnya bersama PMI memasang jalur evakuasi dengan dua titik kumpul yang dipergunakan untuk berkumpul. Warga Kampung Sewu tahu kapan dan tanda-tanda apa sebelum banjir, tanda-tanda yang disatukan dengan data pasti secara keilmuan. Hal tersebut mempermudah warga untuk mengungsi ketika akan terjadi banjir.
Warga Kampung Sewu juga melakukan penghijauan dengan akar wangi karena perubahan pola masyarakat yang sudah tidak seperti dulu. Penghijauannya dilakukan dengan tanaman kecil yang tidak membuat kerentanan hancurnya bangunan yang berfungsi menahan air. Akar wangi masih dimanfaatkan pada mitigasi bencana, belum untuk membuat kerajinan. Akar wangi itu memiliki ketahanan yang kuat, dan akarnya dapat mencegah longsor yang terjadi di bantaran sungai.
Hubungan Kampung dan Kampus
Sesi selanjutnya datang dari Jaringan Kampung Nusantara, Edi Eko Prasetyo, Edi berkonsentrasi membahas permasalahan kampung kota khususnya perkampungan di sekitar kampus. Jaringan Kampung Nusantara adalah gabungan semua kampung yang ada di seluruh Indonesia untuk saling berbagi dan bercerita terkait segala hal yang dialami kampungnya masing-masing.
Edi juga memiliki forum inkubasi kampung dengan nama Kampung Lingkar Kampus (KLK). Kampung lingkar kampus itu banyak yang tidak detail terkait dengan ekosistem yang ada karena pencampuran antara mahasiswa dan warga kampung. Kampus saat ini menjadi menara gading yang akhirnya memberi jarak antara masyarakat kampung dengan kampus itu sendiri. Akhirnya, masyarakat melihat kampus sebagai komoditas dan hanya sekedar keuntungan.
Sementara kampus melihat kampung sebagai sebagai masyarakat biasa yang tidak terdampak pada kampus itu sendiri, jauh dari mereka. Tidak berkesinambungan antara kampung dan kampus itu sendiri. Ada empat pemetaan, yakni membuat work flow image program yang sederhana sebagai pemetaan. Karang taruna yang berada di sekitar kampung hanya aktif ketika seremoni 17 Agustus saja. Kampung di sekitar kampus adalah lab hidup yang baik, namun tidak terdeteksi dan dikonversi oleh kampus sehingga tidak terjadi seperti itu.
Kampung lingkar kampus ini sangat penting untuk membantu membuat brainstorming, tidak hanya menganggap sekadar transaksional saja.
Tapi lebih dari itu, seperti beasiswa terhadap masyarakat kampung tersebut, namun tidak terjadi bahkan akhirnya membangun tembok yang memisahkan antara kampus dan kampung. Attitude aktor kampung, saling asah, asih, asuh yang membuat kepekaan diri masyarakat kampung itu sendiri, sehingga kampung terbebas dari kampung sebagai nomor dua tetapi sebagai stasioner keilmuan.
Selanjutnya adalah inklusi yang seharusnya terjadi sehingga dapat saling membantu satu dengan yang lainnya dan saling menguntungkan satu dengan yang lainnya. Mengapa kampung itu penting? Ketika berbicara Indonesia, maka kita harus mengenali kampung-kampung di indonesia secara holistik.
Kita memiliki tiga strategi untuk dapat hidup berdampingan dengan kampus yakni, pertama menyamakan gerak dan laju, titik dasarnya adalah diharuskan sebagai langkah yang solutif, maka harus sesuai dengan kemampuan untuk melakukan kontribusi di dalam saran yang solutif tersebut atau sadar blocking. Kedua adalah orientasi kepada potensi budaya yang ada sebagai sebuah strategi hulu. Ketiga, langkah taktis secara berjangka dan langkah pragmatis sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Kegiatan Srawung Kampung–Kota pada malam ini masih dilanjutkan dengan pembahasan dari tiga pemateri. Semua kegiatan ini diperuntukan untuk saling berbagi satu dengan yang lainnya, sehingga dapat mengetahui dan mencoba saling menguatkan satu dengan yang lainnya untuk dapat mempertahankan kampung dan membangun kampung-kampung yang ada di Indonesia ini.
Kegiatan Srawung Kampung–Kota menjadi ruang saling cerita antara pembicara dan partisipan dari pagi hingga malam hari masih tetap dalam kondisi yang semangat. Peserta merasakan bahwa memang kampung haruslah tetap ada dan lestari karena kampung adalah salah satu kekayaan dari kota itu sendiri. “… yang sangat penting adalah inovasi yang dibawakan,” ucap Profesor Darwis Khudori (Universite Le Havre Nirmandie). Ia menjelaskan dan menyimpulkan dari berbagai rancangan kegiatan yang sudah dilakukan dari pagi oleh semua peserta di Srawung Kampung–Kota #3.
Menurutnya, desa adalah masa depan dunia, tapi nasib desa dinasibkan di kota. Desa adalah ciri dari kota, kota adalah pusat penentuan nasib desa. Urbanisasi terus mengalir ke perkotaan dan kota dari mayoritas hunian di kota. Kota mengalami dua tantangan, yakni tantangan lokal dan tantangan global. Ada lima tantangan lokal yakni, pertama adalah kemiskinan perkotaan, kemiskinan 70 tahun setelah negara-negara merdeka kemiskinan masih terus ada.
Kedua, warisan kolonial yakni dualisme kebudayaan, dualisme ekonomi. Ketiga adalah keberagaman, khususnya keberagaman budaya dan agama. Keempat, warisan pusaka budaya, bangunan, dan alat tradisional akan kita apakan? Kita pelihara atau kita hancurkan atau tinggalkan begitu saja. Kelima, model teoritis yang seperti apa? Karena di Indonesia tidak ada teorinya sendiri, hanya mengutip dan memakai teori dari luar indonesia.
Menurutnya, peninggalan perlu dikumpulkan dan didata dan disimpan oleh kita dan dijadikan acuan untuk membangun perkotaan. Semuanya harus partisipatif, harus inklusif dari semua dimensi yang ada. Dan melakukan perlindungan untuk pihak yang lemah. Menurut Profesor Darwis, ada lima kompetensi yang harus kita refleksikan dan kita capai posisinya. Pertama, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi komunikasi dan media, financial system, persenjataan, dan terakhir adalah kontrol penguasaan terhadap akses sumber daya kita. Hal ini adalah panca sakti yang harus dikuasai oleh kita semua.
Selanjutnya kampung dan kota dijelaskan dan disimpulkan juga oleh Profesor Melani Budianta, Universitas Indonesia. Menurutnya, kampung dan kota ternyata merupakan jangkar dari ketangguhan dari suatu bangsa. Seorang ilmuan berasal dari kehidupan yang ada karena belajar benar-benar dari kehidupan yang ada. Profesor Melani mengatatan, kita perlu optimisme pada hal yang dilakukan dan juga harus mengerti ada hambatan atas praktik tersebut. Banyak sekali yang akhirnya tidak terpenuhi permasalahannya.
Masyarakat peduli atas apa yang mereka butuhkan. Namun, semua dibabat dan tidak diperhitungkan oleh korporasi yang ada dan berkolusi dengan pemerintahan yang ada. Desa kita memiliki banyak sekali kelebihan dan kekayaan namun, tidak semua kampung seperti itu bahkan dalam kondisi rawan. “Bagaimana kita harus bersinergi satu dengan yang lainnya,” ujar Profesor Melani.
Membentuk ketangguhan budaya harus dilakukan. Ketangguhan budaya adalah kemampuan suatu sistem budaya untuk menyerap kesulitan, menghadapi perubahan, dan terus bertumbuh. Ketangguhan tersebut harus berbasis komunitas yang ada di seluruh indonesia karena memiliki ketahanan yang sentralis dan saling mengenal. Hal tersebut juga memiliki perangkat yang strategis.
Memaknai kembali kearifan lokal yang ada. Energi kreatif, membentuk inovasi budaya, membentuk sejarah kampung, gotong royong, dan akhirnya saling berkunjung. Setelah kita melewati banyak sekali rangkaian acara semua setuju bahwa kampung harus dilihat dari berbagai aspek dan kita semua yang dapat hadir, entah dari kalangan mana dan dari keilmuan apa memiliki peran yang sama dan porsi yang sama untuk mempertahankan kampung dan mengarahkan kampung ke arah yang kita inginkan.
Oleh Ringgana Wandy Wiguna Mahasiswa Sosiologi FISIP UNS