Antara Saya, Kampung dan Identitas
Muhammad Khambali
Saat ini kita memasuki zaman dengan nalar ruang, dengan imajinasi strukturalis yang mengikat kehidupan setiap orang. Nalar ruang mengantikan nalar historis, bahkan mengangap dimensi waktu tidak lagi penting. Sebab, masa lalu menjadi imajinasi ketertinggalan yang usang, kuno, dan primitif. Sementara melalui imajinasi ruang, kita membayangkan kehidupan yang maju, produktif, dan modernis.
Dalam nalar ruang inilah konsepsi dan imajinasi tentang kampung diletakkan, sebagai ruang kekuasaan dan ruang kultural. Mengapa kekuasaan? Kita melihat bagaimana kampung menjadi proyek orang-orang modernis, Kampung disulap menjadi lahan-lahan industri, kampung diubah menjadi kompleks kavling-kavling. Mereka memproyeksikan kampung sebagai hinterland (daerah tertinggal), juga mengira membangun kampung sama dengan membangun kota. Sekali lagi nalar ruang telah mengubah kehidupan dan mencabut nalar historis dalam narasi kebangsaan kita.
Orang-orang seolah lupa, ruang bukanlah semata tempat tinggal maupun aktivitas kasat mata dalam logika konsumsi-produksi. Kita tidak hanya hidup di dalam ruang, tetapi bersama di dalam ruang, kita menyejarah di dalam suatu ruang. Karena itu kita menciptakan memori-memori, penafsiran atas ruang, bahwa setiap orang sejatinya adalah fenomenolog. Tanpa kita sadari melalui ingatan kita memberi makna, menafsir kehidupan, dan ruang telah menjadi hidup itu sendiri. Maka mengubah kampung sebagai sebuah ruang yang lain, tanpa memikirkan historisitas kampung, berarti telah berusaha menghapus seseorang dari kehidupannya.
Itu pula mengapa saya kira, ‘saya’ adalah ‘orang kampung’, entah secara genetis, primodial maupun kultural. Saya lahir dan besar di desa Tanjung, Tirto, Pekalongan, Jawa Tengah. Kedua orang tua, kakek dan buyut saya orang jawa. Meskipun kini tiga tahun lebih tinggal di Jakarta, saya tetaplah orang kampung. Tidak mungkin saya menjadi ‘bukan orang kampung’. Menganggap saya bukan lagi orang kampung, sama saja berusaha mencabut identitas yang melekat dalam diri saya, berupaya mencabut saya dari akar kehidupan saya. Jika seperti, itu bukan saya. Karena itu saya orang kampung.
Jika ada seseorang merasa malu dengan ‘identitas’ sebagai orang kampung, maka seseorang itu telah berupaya membohongi ‘dirinya’ sendiri. Tapi seperti itulah banyak yang terjadi. Dalam nalar ruang, orang terlanjur mempercayai identitas orang kampung atau wong ndeso, sama halnya dengan kampung iu sendiri, yakni hinterland atau daerah tertinggal. Sehingga orang kampung selalu dipandang ketinggalan, primitif, dan tidak modernis. Pengayatan semacam itu sangatlah problematis. Maka zaman ini, persoalan identitas orang kampung tidak semata dari mana seseorang tinggal atau berasal, tetapi mengenai kekuasaan dan politis. Identitas sebagai orang kampung tidak dapat dipisahkan dari wacana, lembaga, dan representasi yang menyertainya.
Dalam proyeksi studi kultural, identitas adalah representasi yang diberikan ‘orang lain’. Identitas bukan semata-mata anggapan seseorang tentang dirinya, melainkan juga anggapan pihak lain terhadap seseorang itu. Identitas adalah cara kita mengkategorikan diri dan cara kita dikategorikan oleh pihak lain. Identitas bukanlah semata-mata menyangkut bagaimana perasaan saya tentang diri saya sendiri, tetapi terutama berkaitan dengan bagaimana orang lain memasukkan diri saya ke dalam berbagai kelompok identitas sosial, seperti etnis, agama, gender, ras, kelas, seksualitas, ketunaan, nasionalitas, dan sebagainya.
Seperti yang telah saya utarakan, saya adalah keturunan jawa, lahir dan besar dalam masyarakat jawa. Saya membayangkan semua orang hidup dalam sebuah tradisi Pekalongan, mengira setiap orang adalah pengrajin batik. Sejauh itu pula saya tidak mencoba mengaitkannya sebaagi sesuatu hal yang bersifat jawa. Tetapi saya baru merasa bahwa saya memiliki identitas sebagai orang jawa ketika saya tinggal di Jakarta. Ketika awal masa kuliah orang bertanya kepada saya, “kamu aslinya mana?”, dan jawaban “pekalongan” tidak cukup memuaskan, tetapi orang akan terus bertanya, sampai saya menjawab, ‘saya orang jawa.” Saat itu orang lain telah menamai dan memberi identitas saya berdasarkan etnis saya.
Sepertinya orang tua saya menganut nilai, “banyak anak banyak rezeki.” Situasi ini sebenarnya menjadi gambaran bagaimana situasi kelas ekonomi keluarga saya, yang kalau boleh saya bilang kelas bawah. Beruntung, orang tua saya berpikiran betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Mungkin bapak saya belajar, dari dirinya yang hanya tamatan Sekolah Dasar. Tetapi lebih jauh dari itu, sebagai anak laki-laki, orang tua saya memberikan harapan lebih kepada saya, ketimbang anak-anak perempuannya, saudara saya. Setelah dewasa dan belajar mengenai studi kultural, baru lah saya sadar, bapak saya menginginkan mobilitas sosial dalam keluarga saya, bagaimana identitas kelas menjadi penting, bagaimana keluarga saya menganut paham patriarki, dan itu dilekatkan pada diri saya.
Demikian itu dalam nalar historis, mengenai saya, kampung dan identitas. Bagaimana saya tidak hanya tinggal (to live) di kampung saya, tetapi saya hidup (to exist) di dalam kampung saya. Saya tidak menampik bahwa saya bisa saja menjadi ‘orang kampung’ yang lain dari orang kampung yang hidup dan menetap selamanya di kampung halaman saya. Tetapi saya tidak mungkin menghapus ingatan saya, mengenai kampung dan ruang yang membentuk identitas saya. Karena dalam nalar ruang, identitas bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi seperti yang dikatakan oleh Jacques Lacan, identitas adalah kekuraangan eksitensial seseorang yang tak pernah penuh, sebagai hasrat memiliki dan menjadi.
Ketua Umum Lembaga Kajian Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta