Aktivitas Warga Gremet

Pada tahun 1980-an sampai tahun 2000 awal masih banyak kegiatan kerja bakti atau gotong royong antarwarga kampung. Tapi setelah tahun 2000 sampai sekarang kegiatan tersebut berkurang bahkan mulai memudar. Kegiatan berupa kumpulan RT masih berjalan sampai saat ini meskipun pesertanya juga semakin sedikit jika dibandingkan dengan pada tahun-tahun sebelumnya. Jadwal kegiatan pertemuan kampung Gremet adalah sebagai berikut: rapat kelurahan tanggal 11, rapat RW tanggal 13, dan rapat RT tanggal 15 setiap bulannya. Kegiatan karang taruna hanya ada saat menjelang acara hari Kemerdekaan RI. Biasanya untuk mengadakan kegiatan lomba bagi warga kampong. Kegiatan tersebut masih berjalan sampai sekarang namun tidak semeriah seperti sebelumnya. Regenerasi keanggotaan karang taruna sangat sulit karena semangat kebersamaan sudah mulai memudar yang mungkin karena keberadaan banyaknya pendatang baru, modernisasi kampung, dan juga karena perkembangan zaman.

Begitupun juga regenerasi perangkat desa seperti ketua RW seperti yang diungkapkan oleh Pak Broto Karyanto.

“Saya sudah menjadi ketua RW XI sejak 18 tahun yang lalu, tidak ada warga yang mau menggantikan saya. Jadi ya sudah saya jalani saja, entah karena saya dipercaya oleh warga di sini karena saya sudah berpengalaman dan sudah lama tinggal di sini atau memang tidak ada warga yang mau ribet-ribet mengurusi hal seperti ini.”

Ini menunjukkan adanya paradoks, banyaknya warga pendatang baru yang tingkat pendidikan dan tingkat ekonominya sudah cukup baik malah menimbulkan adanya degradasi persepsi tentang budaya asli kampung dan interaksi sosial antarwarga asli kampung Gremet dengan warga pendatang.

Namun dari benturan-benturan itu masih ada juga budaya yang masih bertahan sampai sekarang, antara lain ada grup keroncong Gema Tirta Nada II yang didirikan oleh ketua RW XI pada tahun 1995, latihan keroncong diadakan setiap 2 bulan sekali pada malam Sabtu minggu pertama dan minggu ketiga di Organ Studio yang terletak di RT 2; dan juga ada kesenian gamelan serta organ tunggal. Rapat RT dilakukan setiap sebulan sekali, pada tanggal 5 tepatnya. Dan rasa kebersamaan dari para warga disitu sangat terlihat dari diberlakukannya sistem bergilir pada setiap diadakan rapat RT, setiap bulan tempat rapat RT pasti berbeda-beda, dilakukan berputar dari rumah warga yang satu ke rumah warga yang lain. Hal ini diberlakukan agar tidak membebani salah satu rumah warga yang misalnya jika tidak diberlakukan sistem seperti ini, dan juga demi kehangatan serta mempererat silaturahmi antarwarga di Gremet. Sistem keamanan kampung seperti siskamling sudah mulai jarang dilakukan di Gremet. Entah karena para warga di Gremet merasa daerah di situ sudah aman atau mungkin karena para penduduk baru/pendatang baru yang seakan tidak peduli tentang hal seperti siskamling tadi. Siskamling di Gremet diadakan bila hanya ada hal tertentu saja, misalnya pada saat musim pemilu maka sistem tadi akan diberlakukan di Gremet.

Dan juga pak Broto Karyanto sangat bersikeras mempertahankan budaya Midodaren yang ada di kampung Gremet. Menurut beliau walaupun zaman semakin maju tapi adat istiadat harus tetap dipertahankan. Dilihat dari foto di atas bahwa kegiatan kampung Gremet masih ada dan eksis, seperti perayaan 17 Agustus-an dengan mengadakan lomba-lomba seperti yang dilakukan di desa lain saat perayaan di hari yang sama, konvoi menggunakan pakaian adat tradional Jawa, makan-makan bersama dengan warga sekampung. Semua kegiatan desa, mulai dari pelaksanaan, perencanaan, rapat hampir semua diadakan di balai desa yang bisa dibilang cukup kecil untuk seukuran RT 04 RW XI yang cukup besar itu. Balai desa itu terlihat tidak terawat dan mungkin hanya digunakan untuk kegiatan bulanan seperti rapat PKK, rapat RT, dan acara 17 Agustus-an.

Kegiatan ibu-ibu PKK yang rutin dilakukan adalah posyandu yang diadakan tiap bulannya. Selain posyandu untuk balita di sini juga ada posyandu untuk lansia. Kegiatan posyandu ini dilakukan di bangunan serbaguna dekat dengan sekolah TK. Di bangunan bekas sekolah ini warga kampong banyak melakukan acara-acara nonformal. Dan tempat tersebut hanya akan ramai jika sedang ada acara saja. Adanya acara-acara nonformal tersebut menambah intensitas bertemu para warga kampung.

 


 

Kegiatan Keagamaan: Diperkampungan yang sudah kompleks penduduknya, kebutuhan masyarakat pun juga kompleks. Fasilitas yang ada juga harus mendukung keberlangsungan kebutuhan tersebut. Salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi adalah tempat ibadah. Di dalam masyarakat yang kompleks tentu saja keyakinan yang dianut juga beragam. Begitu juga di kampung Gremet, ada empat tempat ibadah yang berdiri, yaitu Masjid Fadlilah, Masjid LDII, Masjid Al Barokah dan sebuah Gereja. Walau keyakinan yang beragam, hubungan yang terjalin di antara warga Gremet begitu erat. Toleransi dalam beragama tinggi.

Masjid Fadlilah mulai dibangun pada tanggal 19 Februari 1973 di atas tanah waqaf dan mulai digunakan pada tanggal 6 Juli 1973. Sekitar 39 tahun masjid berdiri, renovasi dilakukan secara terus menerus. Pada tahun 2010, masjid ini direnovasi secara besar-besaran yang menghabiskan dana sekitar 310 juta sehingga sekarang berdiri megah di jalur utama jalan Gremet yang dulunya pada awal berdiri, masjid tersebut hanya sebuah langgar. Bantuan untuk masjid terus mengalir dari warga, misalnya seorang warga yang memberi bantuan karpet yang langsung didatangkan dari Italia, tutur pak Broto selaku pak RW. Untuk memelihara, meramaikan serta dalam mengadministrasi masjid Fadlilah, maka ada beberapa orang yang bertanggungjawab atas masjid yang disebut Ta’mir Masjid.

Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid Fadlilah digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan, misalnya untuk pengajian dan belajar mengaji iqro’ (TPA).  Pada hari-hari tertentu dalam rangka merayakan hari besar umat Islam dibentuk susunan panitia, misalkan panitia idul Adha, panitia Idul Fitri, panitia Ramadhan, panitia zakat dan lain sebagainya. Dengan adanya panitia yang dibentuk oleh Ta’mir Masjid, kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan berjalan lancar dan teratur.

Di masjid-masjid lain jarang ditemui tadarusan atau simakan yang dilakukan sebulan penuh, kecuali pada bulan puasa. Lain halnya kegitan yang dilakukan di masjid Fadlilah, kegiatan simakan selama satu bulan penuh dilakukan ketika bulan Muharram (Suro) tiba, baik oleh jamaah laki-laki maupun perempuan. Simakan  dilakukan setelah shalat Maghrib hingga menjelang waktu Isya’, setidaknya satu juz selesai setiap malamnya. Suasana begitu akrab kala itu. Selepas shalat Magrib, lantunan shalawat dan panjatan doa-doa terdengar. Senyuman hangat yang terhampar dari bibir setiap jamaah ketika berjabat tangan satu sama lain menggambarkan begitu kuat ikatan yang terjalin di antara mereka.

Keramahan begitu sangat jelas terasa ketika kami meminta ijin untuk mengikuti Simakan di malam ke sebelas dari bulan Muharram. Enam orang ibu-ibu tengah mempersiapkan al-Quran ketika kami meminta ijin untuk bergabung dalam simakan itu. Ada enam ibu-ibu yang melakukan simakan. Tapi para pemudanya tidak ada. Untuk mengawali simakan, semua ibu-ibu membaca al-Quran bersama yang selanjutnya membaca sendiri sendiri secara bergiliran. Di sinlah interaksi terjadi, apabila ada bacaan yang kurang tepat, maka semua membenarkan dan kadang ada juga salah seorang ibu yang gemes karena ibu yang lain bacaannya salah salah. Di sela-sela membaca itu ibu-ibu yang lain sedikit mengobrol. Itulah yang membuat suasana semakin akrab. Sudah hampir satu juz membaca al-Quran, tetapi adzan Isya’ telah berkumandang, buru-buru kami menyelesaikan membaca al-Qurannya. Walau kampung berada di tengah kota, interaksi yang terjalin bagi sebagian warga Gremet masih tetap kuat. Ketika di masjid, pulang dari masjid, berangkat dan pulang dari pengajian mereka saling mengobrol tentang segala hal. Jalan adalah saksi kedekatan antar warga, karena kebanyakan di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap. Setiap hari Rabu dan Sabtu sore sekitar jam 16.00 masjid Fadlilah ramai oleh anak-anak. Pada hari dan waktu itu, waktunya anak-anak belajar mengaji atau yang di sebut TPA yaitu Taman Pendidikan al-Quran. Lantunan ayat suci al-Quran bergema, santri-santri TPA yang rata-rata masih SD belajar al-Quran dengan semangat.

Meskipun santri yang hanya sekitar 20 anak dengan tenaga pengajar yang minim pula, TPA berjalan dengan intensif sehingga para santri lebih mudah dalam belajar iqro’.  Sore itu, ketika TPA sudah dimulai ada seorang anak yang terlambat datang dan dia membawa sebungkus es Cincau yang dia beli di depan masjid. Karena TPA sudah dimulai, dia malu untuk bergabung dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu mengikuti TPA. Dengan bujukan dan agak dipaksa akhirnya anak itu mau untuk bergabung dengan teman-temannya. Dan hafalan-hafalan ayat suci al-Quran tetap dilanjutkan.

Pengajian yang ada di kampung Gremet diadakan tiap Jumat keempat. Tempat pengajian tersebut berpindah pindah dan bergiliran dari rumah ke rumah atau di masjid. Untuk pengajian ibu-ibu diadakan pada Senin kedua dan Senin keempat pada pagi hari, karena kebanyakan dari anggota pengajian tersebut adalah para ibu rumah tangga.

Di masjid LDII lebih sering diadakan TPA untuk anak-anak, yaitu hari Senin sampai Kamis dan hari Sabtu setiap sorenya. Pengajarnya pun didatangkan langsung dari lulusan pondok pesantren LDII yang berada di Kediri. Pengajar TPA yang tetap hanya satu orang dibantu oleh remaja masjid yang sudah di jadwal. Dalam setiap kegiatan belajar mengajar tersebut, pengajarnya berjumlah satu sampai tiga saja. Walau minim pengajar, para santri masih tetap semangat untuk mengikuti kegiatan TPA tersebut. Tidak hanya TPA saja kegiatannya, setiap Senin dan Kamis malam ada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak yang rutin dilaksanakan.

Acara Kampung : Layaknya banyak kampung pada umumnya, di kampung Gremet ini pun banyak acara yang dilakukan warga secara bersama-sama seperti acara hajatan, dimana seluruh warga kampung akan dikerahkan menjadi panitia dalam acara ini. Sekalipun telah banyak perubahan secara fisik yang terjadi di kampung ini namun kebersamaan, saling bantu membantu ketika ada yang hajatan masih terus dilakukan.

 

“Yang tinggal di sini memang rata-rata bukan warga asli sini , tapi mereka harus tetap mengikuti kebiasaan yang ada di daerah ini ya seperti kalau ada hajatan gitu mesti banyak warga yang membantu di rumah yang hajatan baik yang tua atau yang muda semua ikut membantu, nah itu yang membuat warga di kampung ini menjadi dekat,” kata Pak Broto, ketua RW XI.

 

Menurut Pak Broto, karena warga yang tinggal telah menjadi bagian dari warga kampung Gremet sekalipun bukan penduduk asli maka wajib mengikuti kebiasaan yang ada. Apalagi kalau orang tersebut masih orang Jawa maka adat istiadat yang dipakai itu harus semuanya adat Jawa. Acara rewang ini yang membuat akrab antara warga satu dengan yang lain, karena ketika ada tetangga yang hajatan yang membantu di sana tidak hanya ibu-ibu atau bapak-bapaknya saja namun satu keluarga ikut membantu apalagi jika anak muda laki-laki, maka akan dijadikan panitia, di mana sebelumnya remaja laki-laki akan dikumpulkan dan akan diberitahukan tugasnya masing-masing. Acara ini biasa disebut kumbokarnan.

Bagi ibu-ibu akan membantu urusan masak-memasak di dapur, yang biasanya terdapat dua orang juru masak yang fokus kepada masakan yang dibuat. Dan ibu-ibu lainnya akan membantu memotong-motong sayuran, sementara para bapak-bapak akan membantu di depan merapihkan kursi-kursi dan menjaga keadaan sekitar.

Seiring makin tingginya mobilitas seseorang maka orang tersebut akan mengambil cara yang praktis dalam melakukan sesuatu seperti halnya penggunaan jasa catering di acara-acara hajatan. Tuan rumah hanya menyiapkan tempat saja jika menggunakan jasa catering yang memang sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu ribet-ribet menyiapkan tempat untuk memasak bersama-sama. Apalagi bagi orang yang memiliki tingkat kesibukan yang tinggi dan memiliki banyak uang maka pilihan terhadap jasa catering merupakan pilihan yang paling tepat. Namun jika menggunakan jasa catering maka tidak ada acara berkumpul-kumpul lagi dengan para tetangga, menikmati masakan sendiri bersama-sama, serta tidak ada gotong royong di dalamnya. Apalagi jika acara hajatan tersebut diselenggarakan di sebuah gedung maka tetangga hanya tinggal datang dan memberi selamat dan menikmati hidangan yang ada, tanpa harus berlama-lama di tempat tersebut.

Mata pencaharian atau profesi masyarakat Gremet pada umumnya lebih heterogen daripada dulu. Di tahun 1980-an, profesi sebagian besar masyarakat di sana antara lain buruh, pedagang, wiraswasta. Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan tata guna lahan perkotaan yang menyebabkan daerah Gremet menjadi daerah yang strategis.  Banyak para pendatang baru yang tergiur untuk membeli tanah di Gremet dan kemudian dijadikan tempat tinggalnya yang berbanding lurus dengan bervariasinya juga ragam profesi masyarakat di sini, antara lain guru, dosen, wiraswasta, angkatan militer dan lain-lain. Sketsa di atas merupakan gambaran keadaan salah satu sudut kampung Gremet yang nampak sepi meski terletak di jalan utama kampung Gremet. Bangunan di sudut tersebut merupakan rumah yang kemudian dijadikan tempat usaha oleh narasumber kami. Maida yang merupakan anak dari pemilik bangunan tersebut mengatakan:

Bangunan itu sebenarnya sudah lama tidak ditempati, lalu dijadikan tempat usaha yaitu warnet. Karena tempatnya terlalu ramai dan tidak kondusif lagi sebagai tempat tinggal maka kami sekeluarga pindah ke tempat yang lebih tenang.”

Bagian II:
Yurdhi Mahalani F., Larasati, Ibnu Ahmad, Maida Shinta, Yuni Wulan Ndari, Hanifah Kristiyanti, Fikri Hadi Pratama, Nur Ibrahim Tikko

 

Berita Terkait